Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Pungli dan Jatah Proyek Sudah Ada Sejak Zaman Kerajaan

March 20, 2025 10:40
IMG-20250318-WA0082

Mohammad Medani Bahagianda

HATIPENA.COM – Fenomena pungli (pungutan liar) dan praktik minta jatah proyek di Indonesia ternyata bukanlah hal baru. Bahkan, praktik-praktik semacam ini sudah terjadi sejak zaman kerajaan di Nusantara, meskipun tentu dalam bentuk dan konteks yang berbeda dari yang kita kenal sekarang.

Berikut adalah gambaran mengenai bagaimana fenomena ini muncul dalam sejarah Indonesia, termasuk di masa kerajaan.

  1. Zaman Kerajaan Majapahit (1293–1500 M)
    Pada masa kerajaan Majapahit, sistem pemerintahan terpusat dipimpin oleh raja dan pejabat-pejabat tinggi kerajaan. Ada beberapa catatan sejarah yang mengindikasikan adanya korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di tingkat pejabat lokal maupun pusat. Sebagai contoh:
    Sistem Upeti dan Pajak Kerajaan Majapahit memiliki sistem upeti, di mana daerah taklukan diwajibkan memberikan hasil bumi, barang berharga, atau pembayaran lain sebagai tanda loyalitas kepada kerajaan. Praktik ini, meskipun sah dalam konteks hubungan antar kerajaan, sering kali dimanipulasi oleh pejabat lokal. Mereka kadang-kadang mengambil lebih banyak dari yang diatur dan menyalahgunakannya untuk keuntungan pribadi, yang dalam konteks sekarang bisa dianggap sebagai pungli.
    Pejabat lokal menyalahgunakan kekuasaan. Pejabat-pejabat lokal yang memegang kendali di berbagai wilayah Majapahit juga terkadang meminta “jatah” dari proyek-proyek pembangunan atau kegiatan ekonomi lokal. Para penguasa lokal ini menggunakan kekuasaan mereka untuk memaksa warga memberikan kontribusi yang tidak sah.
  2. Kerajaan Mataram Islam (1587–1755 M)
    Di kerajaan Mataram, terutama pada masa Sultan Agung, pungutan-pungutan dari masyarakat petani untuk membiayai proyek-proyek kerajaan, seperti pembangunan istana dan keperluan militer, seringkali melebihi batas yang wajar. Beberapa bentuk penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat kerajaan juga terlihat di era ini.
    Penyalahgunaan pajak pertanian Petani sering diminta membayar pajak yang sangat tinggi, dan pejabat lokal sering memotong bagian dari hasil pajak untuk keuntungan pribadi mereka. Ini menyebabkan beban yang sangat berat bagi petani kecil dan sering kali mengakibatkan kemiskinan di wilayah-wilayah pedesaan.
    Minta jatah dari proyek kerajaan. Para pejabat dan bangsawan di Mataram seringkali juga mendapat “jatah” dari proyek-proyek pembangunan atau perdagangan. Seperti pada masa Majapahit, sistem ini sering kali merugikan rakyat biasa yang diharuskan membayar lebih atau bekerja tanpa upah yang adil.
  3. Kesultanan Banten (1526–1813 M)
    Dalam kesultanan Banten, perdagangan rempah-rempah dan hasil bumi sangat penting bagi perekonomian kerajaan. Namun, di sepanjang pelabuhan Banten, sering terjadi pungli oleh petugas pelabuhan dan pejabat lokal yang meminta bayaran tidak resmi kepada para pedagang yang ingin berdagang di wilayah tersebut.
    Pelabuhan Banten sebagai Pusat Pungutan Liar Pedagang asing maupun lokal yang berlabuh di pelabuhan Banten sering dikenakan pungutan yang tidak sesuai dengan ketetapan resmi. Para pejabat pelabuhan sering kali meminta “uang pelicin” agar proses bongkar muat atau izin dagang mereka bisa dipercepat.
    Proyek Infrastruktur dan Bangsawan Bangsawan di Banten sering kali mendapat proyek-proyek pembangunan atau infrastruktur dari sultan, dan mereka biasanya meminta upeti atau “jatah” dari para pekerja atau pengusaha yang terlibat dalam proyek-proyek tersebut. Ini adalah salah satu bentuk korupsi proyek pada masa itu.
  4. Kerajaan-Kerajaan Lainnya di Nusantara
    Pada berbagai kerajaan di Nusantara, seperti Kerajaan Aceh, Kerajaan Gowa-Tallo di Sulawesi Selatan, dan Kesultanan Demak di Jawa, fenomena penyalahgunaan kekuasaan dan pungli juga sering tercatat dalam sejarah lokal. Pejabat-pejabat lokal sering menggunakan posisi mereka untuk memeras penduduk, terutama dalam sistem pajak atau upeti.
  5. Penjajahan Belanda dan Penguatan Budaya Pungli
    Praktik pungli dan minta jatah proyek semakin berkembang ketika Nusantara memasuki masa penjajahan Belanda. Pada era VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) dan Hindia Belanda, sistem pemerintahan kolonial sering kali menciptakan celah bagi pejabat lokal maupun pejabat kolonial untuk melakukan korupsi.
    Cultuurstelsel (Sistem Tanam Paksa) Pada abad ke-19, sistem tanam paksa yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda di Pulau Jawa menimbulkan banyak penyimpangan. Para pejabat lokal sering kali meminta upah lebih atau “pungutan” dari petani yang sudah bekerja keras di ladang-ladang komoditas untuk pemerintah kolonial.
    Pengadaan Proyek Pemerintah Dalam berbagai proyek pembangunan, seperti pembangunan jalan raya atau rel kereta api, para kontraktor sering harus membayar “upeti” kepada pejabat lokal atau kolonial agar proyek mereka berjalan lancar. Ini bisa dianggap sebagai bentuk awal dari praktik minta jatah proyek yang kita kenal saat ini.

Kesimpulan
Praktik pungli dan minta jatah proyek di Indonesia memang sudah ada sejak zaman kerajaan, meskipun bentuknya berbeda dengan yang terjadi di masa modern. Pada masa lalu, hal-hal ini sering terjadi dalam konteks pajak, upeti, atau penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat-pejabat lokal dan bangsawan. Budaya ini tampaknya terus berkembang seiring berjalannya waktu, hingga menjadi lebih sistematis di masa penjajahan dan berlanjut hingga era modern.
Fenomena ini menunjukkan bahwa korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan telah menjadi bagian dari sejarah panjang Nusantara, dan mengatasinya memerlukan reformasi mendalam di berbagai sektor kehidupan sosial, politik, dan ekonomi.(*)