HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Putusan 135: Gerbang Tata Ulang Sistem Pemilu Kita

July 10, 2025 19:29
IMG_20250710_192837

Dr. Wendy Melfa
Dosen UBL, Penggiat Ruang Demokrasi (RuDem)

(Bagian 2 dari 2 tulisan)

HATIPENA.COM – Putusan MK yang bersifat final and binding (terakhir dan mengikat) dari sebuah Lembaga Peradilan yang khusus dibentuk sebagai penjaga dan penafsir Konstitusi mempunyai fungsi untuk penguatan sistem pemerintahan Presidensial dengan prinsip check and balances terhadap ketentuan UU dari hasil pembuat UU (DPR dan Pemerintah).

Penataan Sistem Politik dan Pemilu

Sebagai konsekuensi kepatuhan kita terhadap ketentuan Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI 1945: “Indonesia adalah negara hukum”, ini bermakna bahwa hukum dijadikan landasan dalam menjalankan nafas kehidupan berbangsa, bernegara, dan menjalankan pemerintahannya.

Adalah sebuah keniscayaan bahwa Putusan MK 135 harus diikuti dengan perbaikan dan penyesuaian ketentuan UU, yang berisi muatan-muatan teknis penyelenggaraan Pemilu khususnya dan ketentuan sistem politik yang menyertai pada umumnya.

Diantara, UU Pemerintah Daerah, UU Partai Politik, UU MD3, UU Pilkada serta berbagai ketentuan UU terkait yang pembahasannya dikerjakan secara sinergi dan terintegrasi dengan pendekatan omnibus teknik.

Ini disusun dalam satu kodifikasi hukum, dalam waktu yang efektif dengan mendengar serta memperhatikan saran pendapat setidaknya kelompok-kelompok masyarakat pemilih (voters), Partai Politik, dan juga Penyelenggara Pemilu dalam perspektif partisipasi.

Saran ini, memberikan makna (meaning full participation) dalam upaya kita bersama membangun sistem politik dan demokrasi Indonesia yang berkualitas dan berintegritas.

Putusan 135 ini sebagai pintu gerbang untuk walk in bagi penataan sistem politik dan demokrasi Indonesia guna memenuhi kebutuhan jangka panjang, dan dalam jangka pendeknya untuk mencegah kekosongan hukum dan pemerintahan dengan cara menata pengisian jabatan penyelenggara pemerintahan daerah dalam hal ini Kepala Daerah dan Anggota DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota yang akan terdampak dalam proses transisi pembentukan hukum baru, dengan adanya Putusan 135 tersebut yang memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan setelah Pemilu Nasional.

Perspektif Kebangsaan

Hukum adalah resultante proses politik, secara theory dan normanya terlembagakan demikian, proses politik itu sendiri dikerjakan oleh lembaga-lembaga politik formal, dalam hal ini Partai Politik, dan pembentuk UU (Pemerintah dan DPR).

Juga dalam bekerjanya, akan sangat dipengaruhi oleh konfirgurasi politik kontemporer, keseluruhan itu akan kehilangan makna (unmeaning) bila tanpa menyertakan suara rakyat sebagai pemilik kedaulatan dan hanya akan menghasilkan ‘benturan’ karena tidak pararel dengan aspirasi dan kebutuhan rakyat, sebaiknya dihindari sikap mengedepankan ‘semangat’ kekuasaan tanpa partisipasi rakyat yang senantiasa tumbuh dan berkembang, dengan mengatakan bahwa kami ini juga dipilih oleh rakyat, kami bisa menjalankan kekuasaan politik dan pemerintahan ini karena dipilih rakyat, apakah benar saudara-saudara yang berada di sana (di luar kekuasaan dan pemerintahan) juga mempunyai legitimasi dukungan rakyat, mari kita bangun suasana yang lebih baik dengan mengesampingkan diksi dan narasi yang menggambarkan demokrasi dalam angka-angka, tetapi lebih kepada demokrasi yang substantif untuk kepentingan berbangsa dan bernegara.

Melaksanakan Putusan MK yang bersifat final and binding merupakan sebuah upaya mentradisikan menghormati hukum sebagai konsekuensi Negara Hukum, terlebih bagi mereka selaku penyelenggara Negara.

Menafsirkan putusan MK dengan mendasari dari sudut pandang ‘egoisme’ kepentingan lembaganya sendiri secara langsung atau tidak langsung hanya akan ‘menyesatkan’ alam fikir dan ‘memperlambat’ terbentuknya sebuah bangunan sistem politik dan demokrasi termasuk Pemilu didalamnya yang sesungguhnya nurani Bangsa ini membutuhkan perubahan kearah yang lebih baik.

Perbedaaan pendapat itu adalah menunjukkan kebesaran sebuah bangsa, tetapi Bangsa yang besar itu adalah bansa yang bisa menyatukan keberagaman pemikiran dan kepentingannya untuk kepentingan yang lebih besar yaitu untuk terbangunnya sistem politik dan demokrasi yang berkualitas dan berintegritas yang lebih baik bagi sebuah Negara besar bernama Indonesia. (*)