Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)
BAYANGKAN ini, wak! Sebuah gedung megah, di sana para hakim berkerut kening, berjubah hitam, menatap tumpukan berkas gugatan yang tebalnya mengalahkan kitab suci. Selama bertahun-tahun, rakyat datang membawa harapan, menyerukan keadilan. Namun, hanya untuk mendengar satu kata keramat yang mereka hafal di luar kepala, DITOLAK.
Ya, sebanyak 33 kali gugatan terhadap presidential threshold 20 persen masuk ke Mahkamah Konstitusi. Sebanyak itu pula mereka membentur tembok yang sama. 33 kali. Angka itu cukup untuk jadi bahan penelitian, berapa banyak energi yang terbuang untuk berharap pada sesuatu yang tidak pernah berubah?
Namun, hidup adalah panggung penuh kejutan. Kemarin, MK yang dulu bersikukuh pada prinsip, tiba-tiba menanggalkan jubah keabadiannya dan berkata, “Baiklah. Kalian menang.”
Dengan satu palu kecil yang dipukul di meja, sejarah berubah. Syarat ambang batas pencalonan presiden 20 persen resmi DIHAPUS. Pasal 222 UU Pemilu dinyatakan tidak sesuai konstitusi. Dalam sekejap, pintu istana demokrasi yang selama ini sempit dan hanya muat untuk raksasa politik tiba-tiba terbuka lebar.
Angin segar pun masuk. Bersamanya datang spekulasi, harapan, dan, tentu saja, tawa getir warganet. Dunia seperti berbisik. “Kini semua bisa jadi presiden. Semua!”
Dari kejauhan, siluet dua sosok tampak jelas. Mereka bukan sembarang orang, tapi dua anak lelaki dari seorang mantan presiden yang kini menjadi legenda hidup politik Indonesia. Yang satu, Gibran Rakabuming, sudah setengah jalan ke kursi RI-1. Wakil presiden. Statusnya seperti gladi resik untuk peran utama di 2029.
Yang satunya lagi, Kaesang Pangarep, raja memes yang belakangan menjelma menjadi pemimpin partai. PSI, partai kecil yang sebelumnya dianggap hanya pengisi kolom “lain-lain” di daftar suara, kini berdiri dengan senyum lebar.
Kaesang pun berkata, “Kalau abang bisa, kenapa aku tidak?” Semesta politik pun tertawa.
Hapusnya presidential threshold adalah revolusi senyap. Tak ada parade. Tak ada kembang api. Tapi efeknya? Seperti gelombang besar yang menggulung seluruh pantai. Kini, siapa saja bisa maju. Tidak perlu partai besar. Tidak perlu koalisi besar. Cukup mimpi besar dan, mungkin, sedikit modal untuk cetak baliho, dan traktir kopi.
Warganet, tentu saja, tak mau ketinggalan. Mereka mulai menghitung kandidat potensial. Gibran, sang pewaris yang sudah bersiap. Kaesang, si bungsu yang bercanda tapi serius. Bahkan, PSI yang dulu dianggap remeh, kini bisa bilang, “Kami juga punya kandidat!”
Kini kita berdiri di ujung tebing sejarah. Di depan sana, 2029 menanti dengan segala kemungkinan. Ini bukan hanya soal siapa yang maju, tapi siapa yang akan bertahan dalam percaturan baru ini.
Karena politik, pada akhirnya, bukan hanya soal menang atau kalah. Politik adalah panggung, dan kita, para penonton, harus siap menyaksikan drama epik yang lebih menghibur dari sinetron mana pun. Jika sejarah mengajarkan satu hal, itu adalah jangan pernah meremehkan plot twist.
“Abang nak ikut nyapres juga ya?” tanya kawan sesama penyuka kopi tanpa gula.
“Kalau ada partai gurem mau ngusung, saya siap!” Ngedabrus lagi hehehe..
#camanewak