HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Raja Ampat, Lombok dan Karangasem

June 14, 2025 12:12
IMG_20250614_121152

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Saya belum pernah ke Raja Ampat. Namun daerah yang disebut sebagai surga terakhir di dunia itu terasa begitu dekat.

Di antara gugusan karang yang mencuat dari laut sebening kaca, Raja Ampat berdiri seperti puisi yang dilantunkan dengan takzim.

Namun hari-hari belakangan ini, puisi itu diperdebatkan. Bukan soal indahnya, bukan pula soal keberadaannya, melainkan soal bagaimana cara membaca dan memaknai: apakah Raja Ampat harus dirawat seperti naskah kuno yang disucikan, atau digali seperti harta karun yang ada di dasar laut?

Paradoks itu muncul dari dua kutub yang saling bertolak belakang namun sama-sama mengaku mencintai Raja Ampat: mereka yang ingin menggali dan mereka yang ingin menjaga kekayaan dan melestarikannya.

Keduanya beralibi memiliki tujuan sama: duit. Ya, uang. Cuan, kata paling jujur dari politik pembangunan hari ini.

Para penggali berkata: “Mari manfaatkan yang terpendam. Gunung-gunung ini mengandung emas dan nikel, logam yang dibutuhkan dunia. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita, siapa lagi?”

Sementara pelestari berujar: “Tak perli digali. Raja Ampat adalah surga yang bisa dijual tanpa harus merusaknya. Ikan, terumbu karang, hutan, budaya, semua bisa jadi tambang yang tak pernah habis, selama kita menjaga.”

Keduanya seringkali bukan tentang pilihan moral, tapi soal siapa yang sedang berkuasa, dan siapa yang sedang lapar akan cuan.

Maka jika empat izin tambang di Raja Ampat akhirnya dicabut, itu bukan semata kemenangan bagi penjaga, tapi bisa jadi jeda dalam pertarungan panjang menuju arah yang masih belum pasti.

Kita harus bertanya lebih jujur: tambang untuk siapa? Apakah benar untuk kesejahteraan rakyat? Kenapa yang tinggal justru kerusakan, dan yang diwariskan kepada rakyat adalah tanggung jawab untuk mereklamasi?

Duitnya ke mana? Lihatlah APBD Raja Ampat. Seberapa besar kontribusi tambang sebelum dicabut? Lalu bandingkan dengan sektor pariwisata: pajak hotel, restoran, retribusi, semuanya bisa dilacak. Jika lebih besar, kenapa harus menambang?

Sekadar ilustrasi, kabupaten Badung di Bali. Tak ada tambang, hanya wisata. Tapi ia menjadi kabupaten terkaya kedua di republik ini. Yang pertama? Kutai Kartanegara, sang menggali tambang. Ada batu bara, minyak dan tambang lain.

Dua daerah sukses, dua jalan berbeda. Satu menjaga dan melestarikan, satu menggali dan mengeruk. Bedanya? Waktu. Tambang bisa habis, wisata bisa diwariskan bahasa kerennya berkelanjutan.

Paradoks ini tak berhenti di Raja Ampat. Lombok Selatan, Sekotong, menyimpan emas di perutnya. Tapi laut biru dan pasir putihnya tak kalah berkilau.

Maka muncul lagi pertanyaan lama yang terus berulang: mana yang lebih kuat, menggali atau menjaga? Keduanya sah. Tapi apa yang lebih lestari?

Lebih dekat yaitu Karangasem Bali. Daerah ini kaya material. Pasir, batu, tanah muntahan Gunung Agung diangkut bertruk-truk dalam setiap hari ke kota Denpasar, Badung, Gianyar dan nyaris di seluruh Bali, seakan pulau Dewata dibangun dari material Karangasem. Vila, hotel, gedung perkantoran yang megah dengan batu hitam, itu material Karangasem. Ironinya: Karangasem adalah kabupaten termiskin di Bali. Terkaya dengan material, justru termiskin.

Apa yang salah? Kekayaan ternyata tak menjamin kemakmuran. Tanpa tata kelola yang baik, yang kaya hanya pengusaha dan penguasanya, bukan rakyat bumi lahar.

Paradoks itulah yang kini dihadapi Raja Ampat. Antara menambang atau menjaga, menggali atau merawat.

Pada akhirnya, semua bicara tentang cuan, tentang uang. Tapi kita harus belajar membedakan: uang yang cepat atau uang yang berumur panjang. Tinggal pilih. Kekayaan yang menghancurkan atau kekayaan yang diwariskan.

Karena pada akhirnya, Raja Ampat bukan cuma soal kekayaan yang bisa dihitung, tapi tentang warisan yang bisa dikenang. (*)

Denpasar, 14 Juni 2025