Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Ramadan, Toleransi, dan Ruang Sosial

March 8, 2025 22:00
IMG-20250308-WA0144

Bagindo Muhammad Ishak Fahmi

Ciloteh “Catuih Ambuih”

HATIPENA.COM – Ramadan adalah bulan yang penuh makna, bukan hanya bagi umat Islam yang menjalankan ibadah puasa, tetapi juga dalam konteks kehidupan sosial yang lebih luas. Di tengah masyarakat yang beragam, selalu ada dinamika dalam menyikapi perbedaan, termasuk dalam hal makan dan beraktivitas di siang hari selama bulan suci ini.

Di beberapa daerah, rumah makan dianjurkan untuk menutup tempatnya dengan kain selama Ramadan. Ini bukan bentuk pelarangan bagi mereka yang tidak berpuasa, melainkan bagian dari etika sosial yang bertujuan menjaga keseimbangan antara hak orang yang menjalankan ibadah puasa dan hak mereka yang karena alasan tertentu tidak berpuasa. Ini adalah bentuk penghormatan yang lahir dari kesadaran bersama, bukan paksaan.

Dalam Islam, toleransi adalah bagian dari ajaran yang fundamental. Al-Qur’an menegaskan dalam Surah Al-Kafirun ayat 6:

“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”

Ayat ini mengajarkan bahwa setiap individu memiliki hak dalam menjalankan keyakinannya, tanpa perlu ada pemaksaan satu sama lain. Bahkan dalam konteks sosial, Islam mengajarkan konsep tasamuh (toleransi), yang berarti saling menghargai dan memahami perbedaan tanpa kehilangan identitas keimanan masing-masing.

Kita bisa mengambil pelajaran dari perayaan Nyepi di Bali. Pada hari itu, masyarakat Hindu menjalankan tapa brata penyepian dengan tidak menyalakan lampu, tidak bepergian, dan tidak melakukan aktivitas yang dapat mengganggu ketenangan. Namun, ini tidak berarti mereka memaksa semua orang untuk berhenti beraktivitas.

Yang ditekankan adalah bagaimana masyarakat luas dapat menunjukkan rasa hormat kepada mereka yang menjalankan ibadahnya. Ini menjadi contoh bahwa harmoni dalam keberagaman tidak dibangun dengan paksaan, melainkan dengan kesadaran dan penghormatan bersama.

Dalam konteks negara kita yang berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, toleransi menjadi pilar utama dalam kehidupan bermasyarakat. Ulama besar, Prof. Quraish Shihab, pernah menyampaikan bahwa:

“Toleransi bukan berarti mencampuradukkan keyakinan, tetapi menghormati perbedaan tanpa merasa terganggu dengan keberadaan yang lain.”

Hal ini menegaskan bahwa menghormati mereka yang berpuasa tidak berarti menghilangkan hak mereka yang tidak berpuasa, begitu pula sebaliknya. Keduanya dapat berjalan beriringan dengan prinsip saling menghargai.

Maka, Ramadan bukanlah waktu untuk memaksakan kehendak atau menghakimi mereka yang berbeda, melainkan momen untuk melatih kesabaran, kebijaksanaan, dan ketulusan. Bagi yang berpuasa, keimanan tidak akan terganggu hanya karena melihat orang lain makan. Sebaliknya, bagi yang tidak berpuasa, menghormati mereka yang sedang beribadah adalah bagian dari etika sosial yang baik.

Ramadan adalah cermin bagi kita semua—bukan hanya dalam menahan lapar dan dahaga, tetapi juga dalam melatih kebesaran hati. Karena dalam keberagaman inilah, kita menemukan makna persaudaraan sejati.(*)

Padang, 2025.