HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Rapat Trump dan Putin hanya Hasilkan Martabak Setengah Matang

August 16, 2025 09:12
IMG-20250816-WA0021

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

HATIPENA.COM – Banyak followers saya bertanya, “Bang, apa hasil pertemuan Trump dengan Putin. Apakah Ukraina bisa didamaikan?” Baiklah, saya coba narasikan hasil rapat 2,5 jam antara si rambut jagung sama si tsar modern. Siapkan kopi tanpa gulanya, wak!

Sejarah kadang menulis dirinya sendiri dengan tinta emas. Kadang dengan darah. Kadang pula dengan cat semprot murahan di tembok toilet bandara. Pada 15 Agustus 2025, Donald Trump dan Vladimir Putin memilih lokasi paling absurd untuk “mencetak perdamaian” Alaska. Ya, negeri beruang kutub dan salmon beku itu mendadak jadi panggung sandiwara geopolitik. Konon katanya pertemuan berlangsung 2,5 jam. Padahal 2 jam di antaranya dihabiskan untuk memilih kursi mana yang terlihat lebih gagah di foto.

Trump, dengan rambut jagungnya yang bisa menyalip cahaya aurora borealis, menyebut pertemuan ini “uji coba perdamaian.” Persis seperti mahasiswa uji coba skripsi. Banyak janji, sedikit isi, dan dosen pembimbing (dunia internasional) cuma geleng-geleng kepala. Putin, dengan wajah dingin yang bisa menyalakan kulkas tanpa listrik, menyebutnya “konstruktif.” Bahasa diplomatik untuk, kita ngobrol, tapi hasilnya nihil.

Yang lebih absurd lagi, Ukraina tidak diundang. Bayangkan ada pesta ulang tahun, tapi si empunya rumah malah dikunci di luar. Volodymyr Zelensky, presiden Ukraina, tentu meledak seperti kembang api tahun baru. Katanya, ide Trump soal “tukar wilayah” itu sama saja dengan barter nyawa pakai voucher pulsa. Dengan nada getir, ia bilang, “Keputusan tanpa Ukraina adalah keputusan melawan perdamaian.” Epik sekali, hampir seperti dialog film 300 versi Eropa Timur.

Mari kita runut dramanya. Pertemuan dimulai jam 11.30 di Pangkalan Gabungan Elmendorf-Richardson, Alaska. Trump ditemani Marco Rubio dan Steve Witkoff. Sedangkan Putin membawa Sergei Lavrov dan Yuri Ushakov. Kalau ini pertandingan tinju, mereka adalah cornerman masing-masing. Trump memberi ancaman, kalau Putin tak mau gencatan senjata dalam seminggu, siap-siap dihajar sanksi ekonomi level “Thanos snap.” Putin balas dengan poker face, wilayah tetap milik Rusia, tapi mari bicara nuklir. Dunia pun menahan napas, takut-takut tombol merah nuklir itu ditekan sambil salah pencet remote TV.

Tapi akhirnya? Tidak ada kesepakatan. Tidak ada deklarasi. Tidak ada apa-apa, selain foto jabat tangan yang entah kenapa tampak lebih seperti kompetisi genggaman ala bapak-bapak di resepsi pernikahan. Konferensi pers singkat, tak ada tanya jawab, tak ada air mata, tak ada tawa. Seperti konser tanpa musik, pertandingan bola tanpa gawang, atau nasi padang tanpa rendang.

Namun bagi Putin, pertemuan ini sudah cukup. Mantan agen KGB ini dapat panggung internasional. Fotonya berdampingan dengan Trump sudah cukup untuk membuat dunia pusing. Bagi Trump, ia bisa pulang ke Washington dan berkata ke publik, “Saya mencoba.” Persis seperti siswa yang menyerahkan kertas ujian kosong tapi bilang, “Setidaknya saya hadir.”

Zelensky? Ia geram. Menurutnya, ini semua hanya trik Putin menunda sanksi dan memoles citra. Ukraina merasa dijual murah, ibarat martabak separuh harga tapi isinya cuma kol. Alaska dingin, politik beku, martabak pun tak jadi matang.

Begitulah, dunia kembali belajar bahwa diplomasi sering kali lebih mirip teater absurd dari jalan keluar perang. Jika perang adalah filsafat tentang siapa yang punya hak menekan tombol paling dulu, maka pertemuan di Alaska hanyalah babak gladi resik yang tak pernah mencapai klimaks.

Pada akhirnya, dunia menunggu. Apakah akan ada pertemuan kedua? Trump bilang mungkin iya, mungkin tidak, mungkin selamanya tidak. Ah, filsafat tingkat dewa, jawaban Schrödinger. Damai dan perang kini terjebak di dalam kotak, menunggu siapa yang berani membukanya.

Saya hanya menunggu malam. “Mau ngapain, bang?” Mau beli martabak telor super. (*)

#camanewak