Ciloteh “Catuih Ambuih”
Oleh Bagindo Ishak
BUDAYA, pada hakikatnya adalah cerminan dari jiwa sebuah bangsa. Ia tumbuh dari nilai-nilai luhur, kebiasaan yang diwariskan, dan kearifan yang ditanamkan dari generasi ke generasi. Namun, ketika korupsi menjadi bagian dari rutinitas, ia menyeruak sebagai “budaya” yang tidak lagi mencerminkan akal budi, melainkan kelicikan yang menghancurkan. Ia tumbuh bukan karena kemuliaan, tetapi karena kerakusan yang menodai moralitas dan etika.
Korupsi memenuhi unsur kebiasaan: ia dilakukan berulang-ulang hingga dianggap lumrah. Tetapi, apakah sesuatu yang biasa dapat dianggap benar? Apakah nilai benar dan salah telah tergerus, digantikan oleh pertimbangan untung dan rugi? Di mana nurani kita ketika memilih seorang pejabat berdasarkan kelemahannya agar mudah dikendalikan, daripada memilih yang bersih dan berintegritas?
Pendidikan, yang seharusnya menjadi benteng moral, kini tereduksi menjadi sekadar pengetahuan yang tidak merasuk ke dalam kesadaran. Religiusitas, yang semestinya menanamkan iman dan akhlak, justru terjebak dalam formalitas tanpa substansi. Jika manusia dididik tanpa budi pekerti, apakah yang tersisa dari kemanusiaan kita?
Kita harus kembali bertanya kepada diri sendiri: apa yang sedang kita bangun? Sebuah peradaban yang megah di luar, tetapi rapuh di dalam? Ataukah kita ingin kembali kepada hakikat budaya yang sejati—yang mencintai kebenaran, menjunjung keadilan, dan menghormati kehidupan?
Budaya korupsi adalah bukti bahwa sistem dan manusia yang menjalankannya telah kehilangan arah. Kita tidak lagi mendidik generasi untuk bermimpi tentang kemuliaan, tetapi hanya mengajarkan mereka cara bertahan dalam belantara tipu daya. Kita tidak lagi bicara tentang pengorbanan untuk nilai luhur, tetapi tentang bagaimana mengambil keuntungan dari celah sistem.
Namun, harapan tidak pernah padam. Setiap individu memiliki peran untuk memutus rantai ini. Kesadaran adalah kunci; kesadaran untuk beriman, untuk berilmu, dan untuk hidup bermoral. Kita tidak bisa hanya menunggu perubahan sistem. Perubahan harus dimulai dari diri sendiri.
Mari kita renungkan, apakah kita ingin dikenang sebagai generasi yang membiarkan korupsi menjadi warisan? Ataukah kita ingin dikenang sebagai generasi yang berani menegakkan kebenaran, meski sulit dan penuh tantangan? Masa depan bangsa ini tidak ditentukan oleh sistem, tetapi oleh pilihan yang kita buat hari ini. Mari memilih untuk berdiri di sisi kebenaran, membangun budaya yang benar-benar mencerminkan akal budi, etika, dan moral.
Padang,1 Januari 2025