Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Refleksi dari Puasa, Semut, dan Spirit Nabi Sulaiman

April 12, 2025 10:03
IMG-20250412-WA0019

#menulis30esai_opini Opini ke-28

Oleh: Drs.Mochamad Taufik, M.Pd Guru SD Al Hikmah Surabaya


HATIPENA.COM – Dalam tradisi Islam, puasa bukan sekadar menahan lapar dan haus, tetapi merupakan proses spiritual yang melahirkan kebahagiaan dan rasa syukur yang mendalam. Artikel ini membahas dua kebahagiaan orang berpuasa berdasarkan hadits Nabi, dikaitkan dengan kisah Nabi Sulaiman AS saat bertemu dengan pasukan semut dalam Al-Qur’an, serta pesan kemanusiaan bahwa manusia terbaik adalah yang paling bermanfaat bagi sesama. Kajian ini menekankan pentingnya menghubungkan ibadah dengan penguatan karakter sosial dan spiritual.


Pendahuluan

Puasa dalam Islam adalah ibadah yang tidak hanya menuntut kesabaran, tapi juga melatih keikhlasan dan kepekaan sosial. Rasulullah SAW bersabda:

“Bagi orang yang berpuasa ada dua kebahagiaan: kebahagiaan ketika berbuka, dan kebahagiaan ketika bertemu Tuhannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa puasa adalah jalan menuju dua bentuk kebahagiaan: satu yang bersifat duniawi, dan satu lagi bersifat ukhrawi. Namun, kebahagiaan ini bukan hanya pantas dirayakan, tetapi juga disyukuri dengan sepenuh hati.


Mensyukuri Nikmat Iman dan Islam

Di antara bentuk syukur tertinggi seorang Muslim adalah syukur atas nikmat iman dan Islam. Tanpa iman, amal ibadah tidak akan bermakna. Dan tanpa Islam, manusia akan kehilangan petunjuk hidup. Maka, keberadaan kita dalam Islam dan keyakinan kepada Allah adalah nikmat paling agung yang harus disyukuri setiap saat.

Sebagaimana Nabi Sulaiman AS dalam QS. An-Naml: 19 berdoa:

“Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku…”

Nikmat ini mencakup nikmat keimanan, ilmu, serta kemampuan untuk menggunakan nikmat tersebut dalam jalan yang diridhai Allah.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa “mensyukuri nikmat” yang diminta Nabi Sulaiman bukan sekadar ucapan lisan, tetapi juga amal nyata melalui kepemimpinan dan perlindungan terhadap makhluk Allah, termasuk semut⁶.


Dua Kebahagiaan Orang Berpuasa: Dunia dan Akhirat

Menurut Imam Nawawi, kebahagiaan saat berbuka adalah bentuk nikmat duniawi karena seseorang telah berhasil mengendalikan dirinya, dan kebahagiaan ini menjadi spiritual karena ia merasakan kedekatan dengan Allah melalui pengorbanan dan ketaatan¹. Sedangkan kebahagiaan ketika bertemu Tuhannya adalah hadiah di akhirat yang tidak ternilai².


Belajar dari Semut: Keteladanan Sosial dan Kepemimpinan Nabi Sulaiman

Dalam QS. An-Naml: 18-19, seekor semut memberi peringatan kepada kawanannya dari pasukan Nabi Sulaiman. Mendengar itu, Nabi Sulaiman tersenyum dan langsung memanjatkan doa syukur.

Al-Razi menafsirkan bahwa Nabi Sulaiman tersenyum bukan karena meremehkan semut, melainkan karena ia kagum dengan kecerdasan dan empati sosial semut³. Ia bersyukur karena diberi kemampuan memahami makhluk kecil sekaligus menyadari amanah besar dalam kekuasaan.

Kisah ini mengajarkan bahwa syukur juga harus tercermin dalam cara kita menggunakan kedudukan, ilmu, dan pengaruh untuk melindungi yang lemah dan menjaga ekosistem sosial.


Menjadi Manusia Paling Bermanfaat

Rasulullah SAW bersabda:

“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Ahmad)

Orang yang beriman dan berpuasa seharusnya menjadi pribadi yang paling terasa manfaatnya di tengah masyarakat. Karena nilai puasa bukan hanya menahan lapar, tetapi juga membentuk empati, solidaritas, dan kepekaan terhadap penderitaan orang lain.

Dalam Jurnal Studi Islam dan Peradaban, dijelaskan bahwa puasa memiliki efek transformatif pada aspek sosial manusia, menjadikannya agen perubahan yang penuh empati dan cinta sosial⁴. Sementara jurnal internasional Muslim World Journal of Human Rights menekankan bahwa ibadah yang berorientasi manfaat sosial adalah pondasi peradaban Islam yang rahmatan lil ‘alamin⁵.


Penutup

Puasa mengajarkan kita untuk bersyukur, bukan hanya karena bisa berbuka atau mendapat pahala akhirat, tapi karena kita masih diberi iman dan Islam oleh Allah—sebuah nikmat terbesar yang tidak dimiliki semua manusia. Seperti Nabi Sulaiman yang bersyukur atas kemampuan dan kepemimpinannya, kita pun diajak untuk mengekspresikan syukur itu dengan menjadi pribadi yang bermanfaat.

Syukur sejati bukan hanya dalam kata, tapi dalam tindakan. Maka, mari kita jadikan puasa sebagai momentum syukur, belajar dari semut untuk saling menjaga, dan meneladani Nabi Sulaiman dan Rasulullah untuk menjadi manusia yang menyebar manfaat bagi semua. (*)


Daftar Pustaka

  1. Nawawi, Yahya bin Syaraf. Syarah Shahih Muslim. Beirut: Darul Ma’rifah.
  2. Al-Ghazali. Ihya Ulumuddin. Kairo: Dar al-Minhaj, 2010.
  3. Al-Razi, Fakhruddin. Tafsir al-Kabir, tafsir QS. An-Naml: 18-19.
  4. Maulana, R. (2020). Puasa dan Empati Sosial: Perspektif Pendidikan Islam. Jurnal Studi Islam dan Peradaban, 12(2), 88–102.
  5. Kamali, M. H. (2016). Social Welfare and Human Rights in Islam. Muslim World Journal of Human Rights, 13(1), 1–21.
  6. Ibnu Katsir. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, tafsir QS. An-Naml: 19.