Oleh Remigius Ua, S.Pd, Gr *)
HATIPENA.COM – Gambar ini bukan sekadar sebuah poster, tetapi cerminan ironi yang telah lama menyelimuti dunia pendidikan di negeri ini. Sebuah kenyataan pahit yang terpaksa kami, para guru, telan setiap hari: kami dibayar murah, namun di pundak kami terletak beban berat untuk membentuk karakter dan akhlak generasi masa depan.
Sementara itu, tontonan yang sering kali minim nilai edukatif justru merajai layar kaca, dengan para pelakunya mendapat bayaran yang jauh lebih besar.
Sebagai seorang guru, saya tidak sedang mencari belas kasihan atau menuntut apresiasi yang berlebihan. Saya dan rekan-rekan seprofesi saya memilih jalan ini bukan untuk menjadi kaya, melainkan karena panggilan hati.
Kami tetap mengajar dengan cinta, meskipun terkadang gaji kami tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Kami tetap membimbing anak-anak, meskipun sering kali kurang dihargai dibandingkan selebritas yang mengisi jam tayang utama dengan cerita yang minim nilai moral.
Namun, sampai kapan ketimpangan ini dibiarkan? Jika pendidikan benar-benar dianggap sebagai fondasi bangsa, mengapa guru yang berperan sebagai pilar utama justru terabaikan?
Jika karakter dan akhlak generasi muda adalah prioritas, mengapa media masih dipenuhi dengan tontonan yang merusaknya?
Saya bukan menolak hiburan, tetapi saya berharap ada keseimbangan. Jika pendidikan adalah investasi terbaik bagi masa depan, maka sudah seharusnya mereka yang berdiri di garda terdepan mendapat penghargaan yang layak. Tidak hanya dalam bentuk materi, tetapi juga dalam penghormatan dan dukungan yang nyata.
Bukan soal iri, tetapi soal keadilan. Karena sejatinya, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pendidiknya. Jika kita ingin melihat generasi yang berakhlak mulia, maka mulailah dari cara kita memperlakukan mereka yang mendidik anak-anak kita.(*)
*) Guru SMP Negeri Wini, Kabupaten Timor Tengah Utara, NTT.
Pejuang Pendidikan di Perbatasan RI – RDTL