HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Refleksi Putusan MK

July 2, 2025 16:22
IMG-20250519-WA0001(1)

Dr. Wendy Melfa
Dosen UBL, Penggiat Ruang Demokrasi (RuDem)


HATIPENA.COM – Hadirnya Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang pada pokoknya menyatakan penyelengaraan Pemilu dipisah menjadi Pemilu Nasional untuk memilih Presiden/ Wakil Presiden, DPR, dan DPD, serta Pemilu Daerah untuk memilih Gubernur, Bupati, Walikota, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota, yang pelaksanaan Pemilu Daerah berjarak dua tahun atau paling lama dua tahun enam bulan sejak Pemilu Nasional.

Putusan MK ini merupakan angin segar bagi penataan Pemilu yang tentu bermuara pada perbaikan kualitas demokrasi kita kedepan, meskipun masih ada sebagaian yang berpendapat bahwa MK melalui Putusannya telah melampaui kewenangan pembentuk UU karena mengatur secara teknis waktu penyelengaraan Pemilu yang sepatutnya menjadi domain pembentuk UU, bahkan ada juga terdapat entitas politik yang secara terang menyatakan “menolak” Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 karena dianggap tidak konstitusional dan melanggar Pasal 22E UUD 1945, padahal sesungguhnya itu karena perbedaan cara menafsirkan konstitusi yang berkaitan dengan Pasal 18 UUD 1945.

Pokok Putusan MK Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang dibacakan pada 26 Juni 2025 tersebut sesungguhnya pararel dengan konstruksi pemikiran hukum pada disertasi doktoral penulis.

Dalam hasil penelitian tersebut, ada temuan baru (novelty) yang telah diujikan secara akademik melalui ujian tertutup dan terbuka (Promosi Doktor) pada Juli tahun 2023 yang lalu, sepatutnya ada pemisahan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, sebagaimana opsi keempat yang disajikan melalui Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019.

Adanya pararel konstruksi pemikiran tersebut, penulis tidak akan mengkaji lebih jauh tentang konstruksi bunyi Putusan 135/PUU-XXII/2024 namun ingin mengajak berdialektika guna menyusun narasi hukum dan politik.

Semangatnya untuk menindaklanjuti marwah Putusan MK Nomor 135 tersebut sebagai norma dasar yang dijadikan rujukan bagi penataan sistem politik Indonesia melalui penataan Pemilu yang diatur dalam perbaikan UU Pemilu.

Tentu saja ini berkaitan erat dengan UU Partai Politik, dan UU Pemerintahan Daerah, yang akan bermuara pada harapan adanya perbaikan kualitas Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah serta pencapaian dari penyelenggaraan Pemilu yang berkualitas tersebut bagi kemajuan kualitas demokrasi yang dapat dirasakan manfaatnya bagi rakyat yang menggunakan kedaulatannya.

Norma Dasar Diikuti Pengatur Undang-undang

Hukum merupakan resultante proses politik, proses pembentukan tidak terjadi dalam ruang hampa, tetapi akan dipengaruhi oleh berbagai kekuatan politik, kepentingan, dan bargaining (negosiasi) dan implikasi politik yang mewarnai sistem politik komtemporer kita.

Dengan demikian patut untuk dipahami bahwa hukum mempengaruhi politik, dan bagaimana politik mempengaruhi hukum itu sendiri (interdepensi antara hukum dan politik).

Dengan demikian maka pengaturan lebih lanjut dari norma dasar yang digariskan melalui Putusan MK Nomor 135 tersebut harus diikuti lebih lanjut melalui UU yang akan dibuat oleh pembentuk UU (open legal policy) sebagai landasan operasional bagi pelaksanaan Pemilu yang dipisah tersebut, baik pengaturan secara teknis pelaksanaannya maupun konsekuensi hukum dan politik yang ditimbulkannya.

Ini juga termasuk pengaturan tentang pengisian jabatan Kepala Daerah dan Keanggotaan DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota untuk menghindari adanya kekosongan hukum dan pemerintahan sebagai akibat pelaksanaan Pemilu Daerah yang berjarak dua sampai paling lama dua tahun enam bulan sejak Pemilu Nasional, dan untuk kebutuhan tersebut dapat diterapkan ketentuan transisi dalam rangka pembentukan/ penyempurnaan sistem politik dan Pemilu.

Prinsip transisi ini pernah kita kenal dalam perjalanan penataan sistem politik Nasional kita, sebut saja antara Pemilu 1971 ke Pemilu 1977, Pemilu 1997 ke Pemilu 1999, juga pengurangan masa jabatan Kepala Daerah dalam upaya menyelenggarakan Pilkada Serentak.

Pemilu yang baik dipahami sebagai Pemilu yang persiapannya, penyelenggaraannya, dan hasilnya, berlaku secara baik serta mendapatkan kekuatan legitimasi secara hukum dan politik, serta dapat dirasakan manfaatnya oleh rakyat yang melaksanakan kedaulatannya.

Diperlukan pengaturan yang rigid dan komprehensif yang tertuang pada UU yang penyusunanannya berdasar pada mekanisme pembentukan UU dan “melibatkan” semua stake holders, inklusif, dan mempunyai ruang dan waktu dialektika yang memadai untuk menghasilkan sebuah pengaturan yang dapat memenuhi harapan akan perbaikan sistem politik dan demokrasi kita, bukan “penyusunan” pengaturan yang bersifat eksklusif, terburu-buru, tidak rigid dan komprehensif yang akan mempertaruhkan kualitas penyelenggaran Pemilu kita kedepan.

Adanya pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah, pengaturan operasional pelaksanaannya berkaitan erat antara UU Pemilu, dengan UU Partai Politik dan UU Pemerintahan Daerah, ketiga UU itu perlu untuk diselaraskan dan disinergikan muatan dan pengaturannya.

Untuk mengatasi kendala pembahasan UU Pemilu yang sudah diagendakan pembahasannya pada Prolegnas (Program Legislassi Nasional) tahun 2026.

Sementara waktu pembahasan Prolegnas yang hanya memungkinkan satu tahun untuk membahas satu UU (perbaikan) saja, maka dapat diupayakan jalur “short cut” dengan menggabungkan pembahasan tiga UU sekaligus yaitu UU Pemilu, UU Partai Politik, dan UU Pemerintahan Daerah dengan menggunakan konsep “omnibus law”.

Pembahasan ketiga UU tersebut dapat berjalan secara lebih efektif dengan memberikan ruang dan waktu pembahasan yang cukup serta melibatkan inklusif semua stake holders yang terkait dengan pokok pembahasan ketiga UU tersebut.

Bagi Partai-Partai Politik sebagai pilar demokrasi yang salah satu fungsinya meng-agregat aspirasi dan kepentingan publik juga mempunyai keleluasaan untuk menata dan mempersiapkan regulasi yang akan menjadi landasan operasional dirinya sebagai Partai Politik yang akan bertindak selaku “peserta” yang akan terlibat dan cukup punya waktu untuk menempatkan kader terbaiknya dalam agenda Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah yang berjarak dua tahun.

Penyelenggara Pemilu juga tidak akan ‘kepayahan’ dengan penyederhanaan Pemilu yang dipisahkan, rakyat pemilih dapat lebih fokus untuk memisahkan isu pembangunan Nasional dan Daerah, serta punya cukup punya waktu untuk menilai kinerja Parpol dan calonnya yang berimplikasi pada kualitas penggunaan electoral right dari setiap pemilih.

Termasuk di dalamnya pengaturan secara teknis apa dan bagaimana cara untuk mengatasi adanya kekosongan jabatan baik Kepala Daerah dan Anggota DPRD serta bagaimana pengaturan dan larangan bagi mereka dan keluarganya untuk boleh atau tidak diperbolehkan sebagai calon pada Pemilu Daerah 2031.

Ini sebagai konsekuensi mereka menggunakan waktu ‘perpanjangan’ masa jabatannya agar terbangun sebuah Pemilu Daerah dengan prinsip fairness bagi semua calon.

Transisi ini adalah pintu gerbang terbangunnya konstruksi Pemilu, sistem politik, dan demokrasi yang akan lebih baik, Putusan MK 135 mengawalinya dengan bangunan normanya, tinggal bagaimana kita mempersepsikan dan menindaklanjutinya. (*)