Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Hari ini, 5 Juni, dunia menundukkan kepala memperingati Hari Lingkungan Hidup.
Di panggung global, ini dirayakan setahun sekali. Namun, di Bali, alam dipuja dua kali dalam setahun Bali—setiap 210 hari, saat Tumpek Wariga datang menjelang.
Bukan hanya seremoni, melainkan kesadaran spiritual yang membumi: manusia Bali diingatkan menghaturkan ketipat pengatag, persembahan suci kepada tumbuhan, kepada kehidupan yang tumbuh tanpa suara, tapi menghidupi dengan cinta tak bersyarat.
“Kaki-kaki, dadong kije, Galungan buin selae…” kalimat tetua yang disampaikan dari dahulu hingga sekarang pada saat tumpek itu tampak sederhana tapi dalam. Kepada pohon, manusia Bali menyebutnya kaki dan dadong—nenek moyang, dua tingkat lebih dulu ada di bumi daripada manusia.
Tanpa kaki dan dadong, tak ada ibu dan bapak. Tanpa ibu dan bapak, kita pun tak mungkin ada. Dalam peradaban semesta, tumbuhan ada di bumi lebih dulu daripada manusia.
Maka, memuliakan alam adalah memuliakan asal-usul. Merendahkan diri pada yang lebih dulu ada adalah sikap luhur dalam dunia yang terlalu sering pongah pada akar dan asal.
Kini kita hidup dalam paradoks. Di satu sisi, kita sujud kepada bumi, namun di sisi lain kita menggerusnya perlahan.
Kita mengeluh kekurangan air, air kecrat-kecrit di kamar mandi murka kesana-kemari menyalahkan PDAM, namun membiarkan tanah tertutup beton, aspal, paving, dan batu sikat.
Kita ingin Bali tetap hijau, namun sawah terus berubah menjadi klaster. Alih fungsi sulit distop, jadi hotel, vila dan rumah-rumah megah. Kita bicara tentang kemandirian pangan, namun membiarkan lahan subur menjadi taman beton.
Kita tahu daya dukung Bali terbatas, tapi masih ingin mendatangkan lebih banyak, lebih banyak, lebih banyak lagi, hingga bandara Bali utara ingin segera dibangun.
Apakah kita telah lupa pada penunggun karang? Pada permisi sebelum menempati lahan? Pada keyakinan bahwa ada yang lebih dulu tinggal yang tak terlihat namun nyata, yang tak bersuara namun hidup?
Bali adalah tubuh yang halus. Pulau ini tidak menjerit, tapi diamnya adalah peringatan.
Bali bukan hanya tempat tinggal, melainkan pertiwi—ibu sejati dari mereka yang sadar bahwa hidup bukan sekadar mengambil, tapi memberi. Bukan sekadar mendirikan bangunan, tapi membangun keselarasan.
Hari Lingkungan Hidup bukan seremoni. Ia adalah cermin. Mari bercermin dan bertanya: sudahkah kita mencintai Bali sebagaimana Bali telah mencintai kita?
Cara mencintai sederhana. Jangan buang sampah sembarangan. Jangan wariskan sungai kotor pada anak cucu. Jangan biarkan udara penuh dengan amarah kendaraan. Jangan kotori desa tetangga dengan limbah dari rumah kita.
Cukup mulai dari diri: satu orang, satu rumah, satu banjar, satu desa……, tak butuh lama, satu, satu itu jadi banyak sehingga satu Bali pun bersih.
Inilah cinta sejati kepada Pertiwi. Cinta yang tidak meminta balasan, tidak menunggu upacara, tidak menanti pujian. Hadir dalam tindakan sehari-hari, seperti akar yang bekerja dalam diam, menyerap, menyalur, menopang, memberi.
Bali harus dijaga bukan karena ia cantik, tapi karena ia hidup. Dan karena ia hidup, maka ia bisa mati jika terus dilukai.
Hari ini, mari berhenti sejenak. Dengarkan kembali bisik pohon, suara angin, lirih sungai yang kian kecil nadinya.
Mereka semua sedang berkata: ingat kami, rawat kami, bahagiakan kami. Karena kami adalah kamu—yang lebih dulu ada. (*)
Denpasar, 5 Juni 2025