Abustan
HATIPENA.COM – Secara faktual, tak dapat dipungkiri bahwa banyak hal yang serupa dalam kekisruhan yang melanda beberapa hari lalu antara negara Nepal dan Indonesia. Fenomena yang terjadi di Nepal selama 2 hari (tanggal 8-9 September 2025) membuat kita jadi prihatian. Apalagi, ketika melihat perdana menteri beserta anggota kabinet di kejar-kejar dan dianiaya. Bahkan, ada yang dilempar ke sungai.seolah menjadi saksi bagaimana kredibilitas negara jadi runtuh dan porak-poranda.
Karena itu, kita semua tak ingin kejadian di Nepal terjadi di negara Indonesia. Walaupun luapan emosi kemarahannya memiliki kesamaan yaitu sinisme rakyat pada merajalelanya korupsi, ketimpangan sosial, dan krisis ekonomi yang mencekik rakyat sudah lama dirasakan: harga beras naik, daya beli masyarakat melemah, dan pengangguran anak muda makin parah.
Selain itu, juga terjadinya secara masif pemblokiran platform media sosial, sehingga remaja tak diberikan keleluasaan berekspresi. Hal ini, sekali lagi melengkapi kemarahan Gen-Z yang spontanitas membuat gerakan solidaritas kaum muda yang berlomba-lomba menjadi orator di jalan-jalan raya. Pidato dengan berapi-api mengobarkan semangat perubahan.
“Korupsi telah menumbuhkan cambuk, yang telah memadamkan cahaya masa depan kita. Bangkitlah kaum muda kami membawa obor perubahan.” Demikian pidato perlawanan pelajar di Nepal yang diteriakkan melalui pengeras suara.
Gelombang Krisis Kepercayaan
Mencermati kerusuhan di Nepal ini, awalnya bermula dari masyarakat yang semakin banyak mengkritik / mengecam gaya hidup keluarga dan anak-anak pejabat yang cenderung hidup bergelimang harta dan acapkali melakukan pamer di medsos. Kondisi ini sangat kontradiktif sebagian besar rakyat Nepal yang hidup dalam belenggu kemiskinan.
Anomali realitas ini, otomatis menimbulkan banyaknya kecaman dan kritik masyarakat kepada para pejabat / keluarganya. Tetapi ironisnya, karena pemerintah justru malah mengeluarkan aturan yaitu memberlakukan larangan terhadap platform media sosial seperti: facebook, tiktok, dan YouTube.
Akan tetapi, lagi-lagi kebijakan ini dianggap oleh publik terutama generasi mudanya adalah bentuk “pembungkaman demokrasi”. Akibatnya mereka menumpahkan kekesalan di jalan-jalan menentang adanya pemblokiran tersebut.
Bahkan tragisnya, unjuk rasa berbalik arah menjadi letupan kemarahan di saat kepolisian membubarkan paksa. Akibatnya, konflik dengan para generasi muda yang berdemo tak terelakkan, sehingga unjuk rasa berubah huru-hara yang mengakibatkan mahasiswa / pelajar dan remaja terluka bahkan ada yang meninggal.
Eskalasi makin meluas dan rakyat mengalami gelombang krisis kepercayaan yang hebat. Berbagai seruan / kebijakan dari negara tak lagi mendapat respon dari rakyat Nepal. Hal itu dianggapnya hanya menambah “paradoks” yang akan menciptakan absuurditas di tengah masyarakat.
Kini, rakyat Nepal telah bersuara dan berikhtiar dengan perlawanan politik di jalan-jalan. Negara harus hadir bukan dengan jargon-jargon politik. Melainkan dengan aturan hukum untuk melakukan pemberantasan korupsi dan kebijakan ekonomi yang mampu mengurai jejaring masalah yang menimbulkan ketimpangan sosial yang kompleks.
Merindukan Kesejahteraan dan Keadilan
Itulah sesungguhnya, wajah manusia (rakyat) yang sudah mencapai fase frustrasi sosial bahkan depresi sosial. Indonesia haruslah menjadikan cermin atau pembelajaran berharga apa yang terjadi di Nepal. Apalagi kejadian demonstrasi dan amuk massa baru saja juga terjadi di Indonesia.
Maka, tak heran banyak analis yang mengasumsikan bahwa kejadian di Nepal di inspirasi oleh peristiwa yang ada di Indonesia. Tetapi, bukanlah poin penting disitu karena yang utama bagaimana mengembalikan kredibilitas pemerintah dan kepercayaan institusi negara kembali dipulihkan.
Walaupun kekhawatiran itu tak bisa diabaikan begitu saja, seperti kekhawatiran Denny JA dalam artikelnya yang diberi judul “Jangan Sampai Kerusuhan Nepal Menular ke Indonesia.” Hal itu bisa dilihat ketika negara gagal menjaga amanah, rakyat menjelma menjadi hakim jalanan karena tatanan hukum (ketertiban) tak mampu lagi menjaga keamanan rakyat. Negara menjelma menjadi negara kekuasaan (machstaat) bukan lagi negara hukum (rechstaat).
Namun, situasi yang baru saja di alami Indonesia telah melewati dengan selamat karang besar. Meminjam istilah Bung Hatta, “Kita tengah mendayung diantara dua karang,” demikian situasi kita belakangan ini.
Di satu sisi, kita tengah berada dalam arus perubahan besar. Namun, di sisi lain rakyat Indonesia masih saja “terjebak” kerinduan hadirnya kesejahteraan dan keadilan yang sudah lama di cita-citakan para founding fadhers republik ini. Tetapi tak kunjung dirasakan oleh masyarakat Indonesia.
Menggarisbawahi hal tersebut, agar rakyat tidak lagi bersuara / bersikap melalui kemarahan dan perlawanan politik di jalan-jalan. Maka, pemerintah haruslah menunaikan “akar utama masalah” bangsa ini, yaitu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi kehidupan sehari-hari yang nyata. Sebab, tanpa itu bangsa ini hanya menunda waktu akan terjadinya krisis ekonomi dan tidak menutup kemungkinan Indonesia terinspirasi revolusi Nepal 2025. (*)
Jakarta, Sabtu, 13 September 2025