Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Tatkala dentang genderang perang menggema di SUGBK para pejuang Garuda menghunus pedang kehormatan mereka. Bahrain, negeri padang pasir yang terbiasa bertarung di terik mentari, datang dengan pasukan terbaiknya. Namun, mereka tak menyangka bahwa di tanah Nusantara ini, telah lahir tiga pendekar sepak bola yang siap mengubah tatanan dunia!
Mereka adalah Marselino Ferdinan, Rizky Ridho, dan Ricky Kambuaya! Tiga nama yang terdengar seperti mantra kuno dalam kitab pusaka, siap menciptakan legenda yang akan diceritakan turun-temurun.
Marselino Ferdinan: Pemuda Emas dari NTT
Dari balik bayang-bayang Oxford, lahirlah seorang jenderal lapangan tengah bernama Marselino Ferdinan. Wajahnya berseri, matanya menyala, langkahnya laksana kijang yang melompat di atas padang hijau. Saat bola menempel di kakinya, dunia seakan terhenti sejenak untuk menyaksikan keindahan yang ia ciptakan.
Menit ke-24, ia mengirimkan umpan begitu akurat. Seakan bola itu sendiri meminta izin kepadanya sebelum meluncur ke kaki Ole Romeny dan berubah menjadi gol yang mengguncang seantero negeri.
Namun, sepak bola tak selamanya ramah. Seorang pengadil lapangan, yang mungkin masih bingung membedakan antara pertunjukan seni dan permainan bola, memberikan kartu kuning kepada Marselino! Betapa kejamnya takdir! Di menit ke-73, Patrick Kluivert, sang pelatih bertangan dingin, menariknya keluar. Mungkin ia ingin mengistirahatkan dewa kecil ini sebelum ia terlalu bersinar dan membutakan semua orang di stadion.
Rizky Ridho, Tembok Besi dari Tanah Betawi
Saat Bahrain mengirimkan pasukan kavaleri mereka untuk menerobos pertahanan Timnas, di sanalah berdiri Rizky Ridho, ibarat benteng kokoh yang telah berdiri selama ribuan tahun. Bersama Jay Idzes dan Justin Hubner, ia membentuk pertahanan yang lebih sulit ditembus dari hati mantan sudah bahagia dengan yang lain.
Ridho tak hanya bertahan, ia memimpin! Dengan kepala tegak, dada membusung, dan tekad sekeras baja, ia memastikan bahwa tak satu pun bola liar berani melangkahi wilayah kekuasaannya. Jika Bahrain mengira bisa mencetak gol dengan mudah, maka mereka telah salah membaca kitab suci sepak bola Nusantara!
Selama 90 menit, ia berdiri bak raksasa. Setiap bola yang datang, ia sapu seakan berkata, “Tidak di sini, tidak hari ini!” Wasit pun kehabisan kartu untuk diberikan padanya, karena bahkan hukum sepak bola pun tahu Ridho bertanding dengan kehormatan seorang pendekar sejati.
Ricky Kambuaya, Mutiara Hitam Papua
Menit ke-74, masuklah seorang pria dari timur. Seorang seniman yang bermain bola bukan hanya untuk menang, tetapi untuk menghibur dewa-dewa sepak bola di langit. Ricky Kambuaya, sang maestro, melangkah ke lapangan dengan aura yang hanya bisa dimiliki oleh keturunan langsung para leluhur tanah Papua.
Ia hanya bermain sebentar, tapi cukup untuk membuat para pemain Bahrain terpaksa membaca ulang kitab strategi mereka. Satu assist nyaris berbuah gol, namun Eliano Reijnders tampaknya masih terlalu terpukau dengan keindahan umpan itu sehingga ia lupa menyelesaikannya.
Kambuaya menunjukkan bahwa sepak bola bukan hanya soal mencetak gol, tapi juga soal menyihir lawan, menggiring bola seakan menari di atas angin, dan membuat lawan mempertanyakan keputusan mereka untuk menjadi pemain bola sejak awal.
Timans menang, 1-0. Namun, ini bukan sekadar kemenangan biasa. Ini adalah pesan untuk dunia! Bahwa dari tanah kepulauan ini, lahir para pendekar baru, yang siap mengubah peta sepak bola dunia. Marselino Ferdinan, Rizky Ridho, dan Ricky Kambuaya bukan hanya pemain bola. Mereka adalah titisan legenda, anak-anak Garuda yang bersumpah akan membawa sepak bola Indonesia ke takhta tertinggi! (*)
#camanewak