Kaba “Catuih Ambuih”
Bagindo Muhammad Ishak Fahmi
HATIPENA.COM – Negara didirikan atas dasar kepercayaan. Rakyat menyerahkan sebagian hak dan kebebasannya kepada lembaga negara dengan harapan ia akan dilindungi, diayomi, dan diberikan ruang berkembang secara adil dan setara. Namun, kepercayaan itu hancur manakala kekuasaan justru berpindah tangan kepada mereka yang menjadikannya alat untuk memperkaya diri dan kelompok, bukan untuk melayani masyarakat.
Ketika penjahat berselimut kekuasaan, negara tidak lagi menjadi rumah bersama, tetapi berubah menjadi wilayah pribadi. Politik menjadi kendaraan, hukum menjadi tameng, dan kebijakan menjadi alat pemerasan yang sah secara prosedural. Semua terlihat rapi dari luar, tetapi rapuh dan membusuk dari dalam.
Kekuasaan Tanpa Etika
Hari ini kita menyaksikan banyak wajah kekuasaan yang kehilangan malu. Mereka berani tampil di hadapan publik seolah tanpa dosa, padahal tangan mereka terlibat dalam penghancuran nilai-nilai yang seharusnya dijaga oleh negara. Yang dibangun bukanlah sistem, tetapi dinasti. Yang dirawat bukanlah keadilan, melainkan jejaring. Yang dikembangkan bukanlah gagasan, tetapi kerakusan.
Negara dibiarkan berjalan tanpa arah visi yang menyentuh substansi kehidupan rakyat. Pendidikan hanya menjadi formalitas administratif. Kesehatan bergantung pada kemampuan ekonomi, bukan hak konstitusional. Hukum menjadi permainan bahasa dan celah, bukan panglima kebenaran. Dalam kondisi seperti ini, rakyat tidak hanya menderita secara materiil, tetapi juga mengalami kehancuran batin: kehilangan harapan dan kepercayaan.
Para penjahat kekuasaan tidak membangun warisan untuk generasi berikutnya. Mereka membangun menara-menara ego, proyek-proyek mercusuar, dan serangkaian inisiatif yang tampak megah tetapi tak berakar. Ketika rezim berganti, semua rontok—karena tak satupun yang dibangun dari fondasi keadilan dan kepentingan publik.
Kejahatan yang Tidak Terlihat
Yang paling berbahaya dari kejahatan kekuasaan adalah bahwa ia sering kali tidak kasat mata. Ia seperti racun dalam darah: bekerja pelan, tanpa nyeri, tapi melumpuhkan seluruh sistem. Kita tidak langsung menyadari kapan integritas lembaga mulai luntur, kapan hukum berhenti adil, atau kapan rakyat berhenti percaya. Tapi saat sadar, semuanya sudah telanjur rapuh.
Ketika masyarakat menyadari bahwa kritik dianggap ancaman, bahwa perbedaan suara dianggap makar, bahwa kebenaran bisa dikalahkan oleh kekuasaan—di saat itulah kita berada di titik krisis yang nyata. Negara kehilangan arah bukan karena badai dari luar, tetapi karena akar yang lapuk di dalam.
Rasa percaya adalah fondasi utama yang tak bisa dibeli dengan pembangunan fisik atau angka statistik. Kepercayaan tumbuh dari konsistensi nilai dan keberpihakan nyata terhadap rakyat. Tanpa itu, negara hanyalah institusi tanpa jiwa—hidup secara administratif, tapi mati secara moral.
Korupsi sebagai Budaya, Apatisme sebagai Warisan
Dalam demokrasi yang terdistorsi, korupsi tidak lagi dianggap sebagai aib. Ia menjadi bagian dari permainan kekuasaan. Pelakunya bisa tetap menjadi tokoh publik, tampil dalam layar kaca, bahkan disambut sebagai “korban politik”. Di titik ini, masyarakat pun mulai terbiasa: “Memang semua begitu, tak ada yang bisa diandalkan.” Maka lahirlah generasi yang sinis, apatis, permisif dan pragmatis.
Budaya semacam ini bukan hanya menular, tapi diwariskan. Ketika anak muda melihat bahwa yang jujur tak pernah menang, maka mereka pun belajar untuk tak peduli. Ketika kejujuran dikalahkan oleh kelicikan, maka yang tumbuh bukan kecerdasan, tapi tipu daya.
Korupsi yang dilembagakan menjelma menjadi sistem nilai baru. Ia menyusup ke ruang-ruang pendidikan, merasuki birokrasi, menodai dunia usaha, bahkan menyentuh ruang rohani. Maka kehancuran negara bukan lagi kemungkinan, tapi proses yang sedang berjalan.
Negara Tanpa Jiwa
Kita perlu merenung, bahwa sebuah negara tak diukur dari tinggi menara atau panjang jalan tol, tetapi dari kualitas kehidupan warga dan kekuatan etika publiknya. Negara yang sehat adalah negara yang melindungi yang lemah, memuliakan perbedaan, dan menegakkan keadilan secara setara.
Ketika kekuasaan justru mencederai prinsip-prinsip ini, maka yang kita miliki bukan lagi negara, tetapi kuasa yang menyamar dalam struktur negara. Demokrasi berubah menjadi prosedur kosong, hukum menjadi alat transaksional, dan pemilu menjadi medan laga antar sponsor, bukan antar gagasan.
Prof. Dr. Zainal Arifin Mochtar, pakar hukum tata negara dari Universitas Gadjah Mada, pernah menyatakan,
“Kejahatan kekuasaan yang dibiarkan akan menciptakan negara tanpa hukum, tapi dengan legalitas. Semua tampak sah karena dibungkus prosedur, padahal substansinya adalah penyimpangan dan penindasan.”
Inilah bentuk tertinggi dari bahaya kekuasaan: ketika ia tampak sah, tetapi sejatinya menindas. Ia tak lagi dibatasi oleh etika, tapi diberi pembenaran melalui retorika dan prosedur. Dalam situasi ini, rakyat tak hanya ditinggalkan, tetapi dijadikan objek manipulasi.
Keberanian dan Kesadaran Sipil
Meskipun situasi tampak suram, bukan berarti kita tak punya jalan keluar. Sejarah selalu menyediakan ruang bagi perubahan, jika rakyat cukup sadar dan berani. Kesadaran sipil adalah kunci utama dalam merawat negara. Di tengah keterpurukan, justru keberanian untuk menjaga integritas dan membangun kembali kepercayaan menjadi cahaya yang tak boleh padam.
Perlawanan terhadap kejahatan kekuasaan tidak harus dalam bentuk besar-besaran. Ia bisa dimulai dari tindakan-tindakan kecil: jurnalisme yang jujur, pendidikan yang membebaskan, seni yang kritis, dan birokrasi yang bersih. Setiap individu punya peran, karena negara adalah milik bersama, bukan milik elite politik semata.
Yang dibutuhkan bangsa ini bukan sekadar pemimpin baru, tetapi cara berpikir baru tentang kekuasaan. Bahwa memimpin adalah amanah, bukan hadiah. Bahwa kekuasaan adalah alat untuk melayani, bukan memperkaya. Bahwa negara adalah ruang kolektif, bukan ladang dagang kepentingan pribadi.
Harapan yang Tak Boleh Mati
Sebagai bangsa, kita harus menolak normalisasi kejahatan. Kita harus menjaga agar kebenaran tetap menjadi cahaya, betapapun redupnya. Kita harus terus mengingatkan diri bahwa kemajuan sejati bukan hanya soal angka, tetapi tentang nilai-nilai yang hidup dalam keseharian masyarakat.
Jika kita membiarkan penjahat berkuasa, maka kita sedang menggali liang kubur bagi negeri ini secara perlahan. Tetapi jika kita menjaga kewarasan bersama, merawat nilai-nilai kebenaran, dan berani berkata tidak pada ketidakadilan, maka kita sedang membangun ulang fondasi bangsa—dari dalam, dari akar, dan untuk masa depan.
Negara ini dibangun oleh darah perjuangan dan cita-cita luhur. Ia tidak layak dijual oleh para penjahat yang kebetulan berkuasa. Maka tugas kita bukan hanya memilih, tapi menjaga. Bukan hanya mengkritik, tapi menghidupkan harapan.
Seperti yang pernah ditulis oleh penyair W.S. Rendra, “Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan?” Demikian pula: apa artinya kekuasaan, jika tidak mampu menjawab penderitaan rakyat? (*)
Padang, 6/2025