Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)
BAYANGKAN GBK. Malam pertandingan. Stadion terbesar, kebanggaan bangsa. Tapi… kosong. Tribun tanpa warna. Drum tanpa tabuhan. Tidak ada suara serak “INDO-NE-SIA!” yang biasanya menggema hingga langit. Hanya ada dengung angin dan suara jangkrik yang malu-malu.
Ini bukan film dystopia. Ini perlawanan. “Kosongkan GBK!” Sebuah perlawanan yang menggema seantero jagat maya.
Pasca pemecatan Shin Tae-yong oleh PSSI, fans Timnas memutuskan hal yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, mengosongkan stadion. Drama di lapangan hijau kini merambah ke tribun. Tapi kali ini, bukan pemain yang beraksi. Fans yang bertanding.
“Kosongkan stadion GBK!” seru mereka, bukan dengan suara lantang, tapi dengan sikap dingin yang menusuk. Semacam pasif-agresif versi kelas berat.
“Bukan berarti kami nggak cinta Timnas,” ucap seorang fans, mungkin sambil mengepalkan tangan ke langit. “Tapi kami ingin PSSI tahu. Kami adalah denyut nadi olahraga ini. Tanpa kami, sepak bola ini seperti kerupuk yang disimpan terlalu lama. Melempem.”
Sunyi itu seram, Wak! Tidak ada yang lebih menakutkan bagi penguasa selain ketidakhadiran rakyat. Inilah yang ditawarkan fans. Sebuah stadion megah yang kehilangan jiwanya. Sebuah GBK yang berubah menjadi kuburan megah tanpa pelayat.
Ente tahu apa artinya stadion kosong? Itu adalah perang tanpa senjata. Protes tanpa spanduk. Tapi dampaknya? Lebih tajam dari pedang.
Fans tahu ini bukan sekadar tentang Shin Tae-yong. Ini tentang harga diri. Tentang rasa yang sudah lama terpendam, seperti luka lama yang kembali berdarah. Mereka ingin bicara, tapi bukan dengan mulut. Mereka bicara dengan tribun kosong. Dengan suara hening yang memekakkan telinga.
Bayangkan pemain Timnas melangkah ke lapangan. Mereka siap bertarung. Tapi, alih-alih disambut gemuruh, mereka menghadapi tribun kosong. Apa yang lebih menyedihkan dari itu?
“Kita tetap cinta Timnas,” ujar fans lain dengan lirih, mungkin dengan mata berkaca-kaca. “Tapi cinta itu tidak boleh buta. Kalau kita terus diam, PSSI akan merasa bebas bermain seperti anak kecil dengan mainan barunya.”
Begitulah, Wak! Stadion kosong adalah seni perang. Ini seperti menutup pintu dengan pelan, tapi penuh rasa kecewa. Ini adalah pesan kepada PSSI bahwa kekuasaan tanpa dukungan rakyat hanyalah ilusi.
Kosongkan stadion? Ide gila. Tapi juga brilian. Gila dan brilian memang sering berjalan beriringan.
Malam itu, jika GBK benar-benar kosong, jangan sebut itu kegagalan. Sebut itu epik. Sunyi itu bukan kelemahan. Sunyi adalah puisi yang ditulis oleh ribuan hati yang terluka.
Di tengah semua sunyi itu, ada janji, Garuda tetap di dada.
#camanewak