Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Sarjana, Nasibmu Kini

January 25, 2025 10:41
IMG-20250125-WA0067

Oleh Tabrani Yunis

HATIPENA.COM – Akhirnya, polemik mengenai UKT pun kini berhenti, rehat sejenak, setelah beberapa saat menghangat saat bola panas UKT digulirkan dan menjadi isu hangat dan bahkan panas hingga membara di dinding-dinding berbagai media di dunia maya dan di laman berita cetak.

Ya, pokoknya persoalan Uang kuliah Tunggal (UKT) tersebut telah menjadi perbincangan hangat dan bahkan memanas di dalam masyarakat Indonesia, di semua strata kehidupan. Polemik dan diskursus UKT yang meluas dan meluber ke mana-mana. Sehingga bisa kita simak masalah ini di berbagai media, banyak berita mengenai diskusi, pembahasan serta berita terkait UKT yang membuat hati orangtua, sebagai pihak penanggung biaya kuliah anak merasa makin gamang melihat melonjaknya biaya kuliah bagı anak-anak mereka saat ini dan di masa hadapan.

Setelah riuh rendah suara menantang dan menolak naiknya UKT, maka kebaikan sang pemimpin pun diperlihatkan. Kenaikan UKT tidak jadi tahun 2024 ini. Artinya dihentikan dahulu. Sehingga riak dan gelombang protes dan penolakan pun surut dan berhenti. Ya, paling kurang, berhenti sejenak debat, diskusi atau dicabut sejenak Permendikbudristek tentang UKT yang disebut sebagai bola panas. Bola yang juga dinilai banyak orang sebagai uji coba metodologi uji ombak.

Alhasil, bola panas sebagai alat tes atau uji ombak yang dilakukan oleh pemerintah terbukti menimbulkan bermacam ragam bentuk reaksi yang dilakukan, dan dipaksa oleh masyarakat untuk ditinjau ulang. Oleh sebab itu, kita terus menggaungkan masalah ini sebagai masalah bersama anak Bangsa ini yang masih membutuhkan perguruan tinggi negeri khususnya, sebagai tempat untuk meningkatkan kualitas diri atau mendapatkan gelar sarjana di lembaga pendidikan tinggi. Semua reaksi ini adalah wujud kepedulian dan advokasi untuk mendapat akses masuk perguruan tinggi negeri yang terjangkau bagi semua orang atau kalangan.

Kita bersyukur bahwa tensi darah masyarakat yang sempat naik dengan tes uji ombak UKT tersebut, kini pun mulai turun sejalan dengan dikeluarkannya pernyataan keputusan yang memutuskan untuk tidak menaikan UKT tahun ini. Selayaknya kita bersyukur dan berbahagia. Namun, ingatlah bahwa tidak jadinya menaikkan UKT tersebut, bukan berarti UKT tidak akan naik, UKT pasti akan naik pada waktunya, tanpa harus mengikuti teori atau metode tes ombak lagi.

Namun, tidak selayaknya pula kita berpuas diri, karena kenaikan yang dibatalkan, karena kenaikan itu bisa berulang di rezim baru nanti. Semoga saja rezim baru lebih bijak melihat masa depan pendidikan anak negeri ini.

Sebagaimana Republika.co.id, edisi 3 Juli 2023 menulis bahwa “Skema uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi dinilai harus ditinjau ulang karena sangat memberatkan banyak mahasiswa. Mahalnya biaya UKT disebut merupakan dampak dari berlakunya Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTN BH), yang membuat terjadinya tren komersialisasi di perguruan tinggi.

Komersialisasi perguruan tinggi yang satu di antara sekian banyak wujudnya yang bisa kita identifikasi dari kebijakan pemerintah terhadap Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di tanah air adalah kebjikan UKT yang ditolak tahun ini. Kebijakan semacam ini akan berpengaruh besar pada impian bangsa Indonesia yang bermimpi memanfaatkan bonus geografi di tahun 2030 dan visi Indonesia emas 2045. Pengaruhnya adalah bonus demografi dan visi Indonesia emas akan menjadi visi yang utopis. Harusnya pemerintah tidak memberatkan rakyat untuk meningkatkan kualitas diri atau SDM di level Perguruan Tinggi. Faktanya, pemerintah terus melakulan privatisasi dan komersialisasi pendidikan tinggi yang menjadikan PTN sangat elitis.

Tak Boleh Lupa Diri

Setiap orang yang ingin kuliah, harus ingat bahwa naik dan turunnya kembali tarif UKT adalah masalah berat yang harus dihadapi oleh masyarakat dalam mengakses pendidikan tinggi. Namun di balik itu ada hal yang juga tidak boleh dilupakan oleh calon mahasiswa atau mahasiswa yang sedang mengenyam pendidikan tinggi saat ini. Calon mahasiswa dan mahasiswa tidak boleh lupa diri. Ya, tidak boleh lalai. Harus diingat bahwa biaya pendidikan dalam praktiknya tidak mengenal istilah turun tarif. Akan selalu naik makin tinggi dengan alasan -alasan yang bermacam ragam.

Oleh sebab itu, ketika biaya pendidikan makin tinggi atau makin mahal. Para calon mahasiswa dan mahasiswa lebih sadar diri agar tidak lalai dan malas dalam menjalankan tugas belajar Orangtua yang mengeluarkan biaya ingin anak mereka giat meningkatkan kualitas diri. Para calon mahasiswa harus tahu diri bahwa mereka sedang menjalankan tugas belajar yakni apa yang disebut dengan kuliah. Kuliah di Perguruan Tinggi, tidak boleh sekadar datang, duduk, dengar, diam dan pulang, lalu ketika habis uang, tinggal telepon orangtua untuk meminta uang tambahan. Hal ini penting dicamkan, karena selama ini, kualitas mahasiswa di PTN dan PTS saat ini juga menjadi masalah yang harus diperhatikan. Betapa banyak produk universitas yang seharusnya mampu mengatasi masalah kehidupan sendiri, kini banyak yang menjadi penganggur intelektual. Bahkan di era digital ini, akan ada 10 juta gen-Z yang menganggur. Sebuah kondisi generasi yang meresahkan dan berbahaya bagi bangsa ini. Terjadinya pengangguran yang mencapai angka 10 juta itu harus segera diantisipasi.

Selain menganggur, tidak sedikit kita temukan lulusan Perguruan Tinggi yang telah memiliki ijazah sarjana S-1 kesulitan mencari pekerjaan dan harus bekerja tidak sesuai dengan ijazah yang dimiliki. Sangking sulitnya, pilihan yang dirasakan tepat adalah melanjutkan ke jenjang S-2. Artinya, bisa menunda pengangguran selama kuliah di S-2. Namun, celakanya setelah selesai S-2 kembali melanjutkan status pengangguran intelektual. Mengapa demikian? Karena ilmu dan ketrampilan yang dimiliki masih belum cukup untuk mendapatkan pekerjaaan, apalagi untuk menciptakan lapangan pekerjaan sendiri.

Tentu ada banyak faktor penyebabnya, terutama faktor internal. Sejalan dengan makin canggihnya perkembangan teknologi digital yang memudahkan segala urusan, para calon mahasiswa dan juga mahasiswa, bahkan yang sudah menjadi Sarjana, baik S-1 maupun S-2, memiliki kemampuan yang makin rendah. Ya, makin rendahnya kemampuan literasi mereka, karena makin rendahnya minat membaca. Sehingga membuat mereka menjadi mahasiswa yang miskin pengetahuan, tidak memiliki ilmu yang dalam, kemampuan literasi terbatas dan perilaku yang sangat milenial. Mereka melek teknologi, tetapi bukan sebagai subjek yang memanfaatkan kemajuan teknologi digital, melainkan menjadi objek dari kemajuan teknologi tersebut. Ini adalah kesalahan para sarjana yang katanya sudah kuliah.

Bisa dibayangkan bahwa ketika kemampuan literasi, numerasi dan sains di jenjang pendidikan tinggi masih rendah, maka kemampuan untuk beradaptasi dengan kemajuan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi menjadi sangat rendah. Pertanyaannya, bagaimana bisa mampu beradaptasi dengan kemajuan perkembangan era digital, bila mereka hanya akan menjadi target pasar dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi tersebut? Apalagi di era ini, proses disrupsi berlangsung begitu pesat? Makin kacau bukan?

Idealnya, seorang sarjana yang sudsh mengenyam pendidikan tinggi, tidak harus selamanya menjadi job seekers, atau pencari kerja, tetapi harus mampu membuka lapangan kerja bagi diri mereka sendiri, dan lebih berguna bila bisa membuka lapangan kerja untuk dirinya dan orang lain. Dikatakan demikian, karena sesungguhnya ketika mahasiswa sudah menyandang gelar sarjana, sesungguhnya mereka bisa mendapat pekerjaan yang bagus. Bukan hanya itu, harusnya mereka bisa lebih unggul dan profesional. Apalagi yang susah melanjutkan kuliah di jenjang S-2, mereka sudah seharusnya memiliki keahlian praktikal dan bahkan mampu memperluas karir.

Tak dapat pula dipungkiri bahwa seorang sarjana itu memiliki kemampuan berfikir dan bertindak dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi. Karena idealnya mereka sudah memiliki kemampuan berpikir kritis, sehingga mampu menganalisis setiap masalah, berargumentasi serta mengambil keputusan yang tepat bagi diri mereka. Apalagi kita tahu bahwa seorang sarjana yang benar-benar sarjana, pasti telah memiliki kemampuan berkomunikasi yang mumpuni, baik lisan, maupun tulisan. Seorang sarjana yang telah menyelesaikan kuliah dengan menulis tugas akhir sebuah skripsi harusnya mampu menulis artikel atau esai, maupun karya ilmiah yang menjadikan mereka lebih produktif. Kemampuan ini akan lebih sempurna karena setiap sarjana sesungguhnya memiliki kemampuan riset. Lalu, sejalan dengan kemajuan teknologi, seorang sarjana juga telah diberikan kemampuan teknologi. ini penting, karena dalam dunia yang makin terhubung, pemahaman tentang teknologi dan kemampuan menggunakan perangkat lunak dan perangkat keras adalah suatu keharusan bagi para mahasiswa dan sarjana. Apalagi secara ideal, seorang sarjana sudah mengasah kemampuan kreativitas dan inovasi di perguruan tinggi, mereka seharusnya mampu pula beradaptasi dengan dunia atau zaman yang terus berubah. Namun, apa yang tterjadi

Ya, idealnya demikian, namun fakta berkata lain, semua hal yang dianggap atau dirasakan ideal itu makin jauh dari kehidupan kebanyakan calon mahasiswa, mahasiswa dan para sarjana kita, baik lulusan S-1, maupun S-2. Sehingga, bukan hal yang mustahil, saat ini banyak sarjana S-1 dan bahkan S-2 yang masih berada dalam gendongan orangtua. Sudah menjadi sarjana, masih belum lepas dari tanggung jawab orangtua. Kondisi ini makin menguatkan premis atau ungkapan bahwa “ Kita memasuki era di mana gelar tidak menjamin kompetensi, lulusan tidak menjamin kesiapan untuk bekarya dan bekerja. Akreditasi tidak menjamin mutu, masuk kelas tidak menjamin belajar (Nadiem Makarim)” Memilukan bukan? Mari kita berpikir dan bertindak lebih bijak dalam membangun kehidupan yang lebih baik. (*)

Berita Terkait

Berita Terbaru