HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Sarundajang Junior: Tesis Cum Laude pada Perlindungan Hukum Transaksi Digital

August 25, 2025 17:46
IMG-20250825-WA0071

Oleh ReO Fiksiwan

Do not or to do.“ Thomas R. Dye (89), Understanding Public Policy (1994).

HATIPENA.COM – Dalam perspektif mutakhir hukum digital yang terus berkembang, tesis Jonathan Sarundajang, SH., MH., di Program Pascasarjana Fakultas Hukum Unsrat — diganjar nilai cum laude — hadir sebagai refleksi akademis yang tidak hanya menyentuh ranah normatif, tetapi juga menggugah kesadaran akan urgensi perlindungan hukum dalam transaksi digital.

Sebagai cucu dari mendiang Dr. DR (HC). SH. Sarundajang—Gubernur Sulawesi Utara periode 2005–2015, Duta Besar Filipina, Marshal, Kepulauan Palau 2017-2021, dan tokoh geostrategi kawasan Pasifik—Jonathan membawa warisan intelektual yang tidak sekadar genealogis, tetapi juga epistemologis.

Ia mewarisi semangat sang opa, SHS, yang merintis World Ocean Conference dan CTI Summit 2009, serta menyandang dua gelar doktoral yang menandai jejak pemikiran lintas disiplin dan lintas konflik.

Tesis Jonathan tidak lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh dari dialektika antara hukum positif dan realitas digital yang makin cair.

Dalam dunia di mana transaksi publik bergeser dari ruang fisik ke ruang maya, hukum tidak bisa lagi bersandar pada teks normatif semata.

Ia harus mampu membaca algoritma, memahami enkripsi, dan menafsirkan jejak digital sebagai bukti hukum.

Di sinilah kritik terhadap hukum positif menjadi relevan, terutama jika dibaca melalui lensa Thomas Dye dalam Understanding Public Policy (1994).

Dye, dalam usia 89 tahun, tetap menjadi rujukan penting dalam memahami bagaimana kebijakan publik tidak selalu lahir dari kebutuhan rakyat, tetapi dari kepentingan elit yang mampu mengakses dan mengendalikan informasi.

Jonathan, sebagai Sarundajang Junior, tidak hanya mengajukan tesis, tetapi juga mengajukan gugatan epistemik terhadap cara kita memahami hukum dalam era digital.

Ia menolak pendekatan legalistik yang kaku, dan memilih pendekatan kritis yang menggabungkan psikologi, teknologi, dan politik.

Tidak mengherankan, mengingat ia adalah putra dari Fabian Sarundajang dan Dr. Psy. Prisy Sibi, staf pengajar Psikologi UKIT, yang tentu mewarnai cara berpikirnya yang lintas disiplin.

Dalam tesisnya, transaksi digital tidak hanya dilihat sebagai pertukaran nilai, tetapi sebagai pertukaran kepercayaan yang rentan terhadap manipulasi, kebocoran data, dan ketimpangan akses.

Dalam konteks ini, hukum tidak cukup hanya melindungi hak, tetapi harus mampu memulihkan kepercayaan.

Transaksi digital adalah medan baru di mana aktor-aktor hukum harus bertransformasi menjadi penjaga etika dan integritas.

Jonathan mengusulkan perlindungan hukum yang tidak hanya berbasis regulasi, tetapi juga berbasis kesadaran digital.

Ia menolak logika hukum yang hanya mengatur, dan memilih logika hukum yang juga mendidik.

Kritiknya terhadap hukum positif bukanlah penolakan, melainkan ajakan untuk mereformulasi hukum agar mampu menjawab tantangan zaman.

Sebagai bio-intelektual historis, Jonathan tidak hanya berdiri di atas fondasi akademik, tetapi juga di atas warisan pemikiran yang telah membentuk arah kebijakan kawasan.

Dr. DR (HC). SHS, sang opa, bukan hanya tokoh politik, tetapi juga pemikir strategis yang memahami bahwa hukum dan politik tidak bisa dipisahkan dari konteks geografi dan konflik.

Disertasinya tentang geostrategi Pasifik dan gelar doktor honoris causa dalam konflik politik lokal Maluku adalah bukti bahwa pemikiran Sarundajang bukanlah pemikiran lokal, tetapi pemikiran global yang berakar pada realitas Indonesia.

Tesis Jonathan adalah kelanjutan dari warisan itu. Ia tidak hanya berbicara tentang hukum, tetapi tentang masa depan hukum.

Ia tidak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan. Dalam dunia yang semakin digital, hukum harus menjadi pelindung, bukan sekadar pengatur.

Dan dalam dunia yang semakin kompleks, Sarundajang Junior menunjukkan bahwa intelektualitas bukanlah soal gelar, tetapi soal keberanian untuk berpikir melampaui batas. (*)