Ilustrasi : AI/ ReO
Penulis: ReO Fiksiwan *)
“Ada kejahatan didasarkan nafsu. Ada pula kejahatan berasal dari akal budi.” — Albert Camus (1913-1960).
HATIPENA.COM – Hampir dua dasawarsa silam, seorang mahasiswa, imigran alias “manusia perahu, asal Afganistan bersama ibu dan adik-adiknya, terdampar di Manado. Setelah lama terkatung-katung dengan status kewargaan mereka dan gamang dengan sikap pemerintah era kedua presiden Jokowi, ia protes dengan membakar diri (https://www.kompas.id/baca/ utama/2019/02/14/imigran-afganistan-yang-tewas-bakar-diri-dimakamkan).
Setelah peristiwa protes bakar diri itu, salah seorang adiknya, Ali Rahim, setahun silam dengan segala bentuk perjuangan, akhirnya Ali memperoleh status kewargaan negaranya. Tak hanya itu, Ali pun bisa selesai sarjana ekonomi di Fakultas Ekonomi Unsrat dan baru saja berhenti dari aktivitasnya sebagai Ketua HMI Kota Manado periode 2023-2024.
Kini, Ali menjadi usahawan tanaman dan sayuran hidropolik sembari masih memelihara bibit aktivismenya dari nenek moyangnya di Afganistan.
Kembali ke protes mahasiswa sepanjang sejarah telah menjadi kekuatan perubahan yang dahsyat dan menggelegar. Bersama kaum muda memainkan peran penting dalam membentuk arah gerakan sosial dan politik, termasuk di Indonesia sejak Sumpah Pemuda 1928, 1966, Malari 1974 hingga reformasi 1989 yang menekan Soeharto “berhenti dari jabatan saya.”
Di tengah sejarah protes itu sendiri — mulai dari Thomas Muntzer abad-15 dengan Bauerkrieg di Jerman, Protes Petani Banten abad-19 dan protes mahasiswa 1968 di Perancis — ada yang hampir luput dari ingatan kita: peran sastranya. Sastra sering kali menangkap semangat dan idealisme protes mahasiswa, memberikan jendela unik ke dalam konteks historis peristiwa-peristiwa ini.
Dengan mengeksplorasi konteks historis protes mahasiswa dalam karya sastra yang fokus pada tema perubahan sosial, aktivisme politik, kekuatan pemuda dan keruntuhan sebuah rezim. Ambil misal, Rendra dengan Pamflet masa darurat, Wiji Thukul hingga Okky Madasari(https://www.instagram.com/reel/DF__DkcPYNl/?igsh=NjZiM2M3MzIxNA==).
Atau, jauh kebelakang, Chairil Anwar dan Taufiq Ismail(Tirani dan Benteng) hingga Maya Angelou baca puisi “On the Pulse of Morning” dalam pelantikan Presiden Bill Clinton 1993(https://www.bing.com/search?q=Tonny+Morisdon+read+a+poem+in+inaguration+Bill+Clinton+and+attended+Mikhail+Gorbachev+in+White+House&safeSearch=strict&form=METAWA).
Salah satu yang bisa dikategori esai sastra terpanjang dan paling ikonik dalam menangkap semangat protes mahasiswa, “The Rebel” (1951) dari Albert Camus. Ditulis setelah Perang Dunia II, “The Rebel” mengeksplorasi tema pemberontakan dan perubahan sosial,
Menurut Camus, pemuda sering kali berada di garis depan gerakan revolusioner. Karya Camus sangat dipengaruhi oleh protes mahasiswa yang melanda Eropa setelah perang dunia kedua ketika kaum muda berusaha menantang status quo dan menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.
Selain itu, karya sastra terkenal lainnya yang mengeksplorasi tema protes mahasiswa, “The Berkeley Student Revolt” (1965) karya Mario Savio. Savio, tokoh utama dalam Gerakan Kebebasan Berbicara di Universitas California, Berkeley, bisa terus menyulut lahirnya gerakan mahasiswa New Left akibat didukung oleh filsafat mahzab kritis, Herbert Marcus(1898-1979), khusus lewat bukunya, Reason and Revolution(1941).
Untuk menangkap semangat protes mahasiswa yang melanda kampus-kampus Amerika pada tahun 1960-an dan tentu protes “Indonesia Gelap”, pembacaan puisi Okky dan karya Savio memberikan wawasan yang kuat tentang konteks historis gerakan protes mahasiswa.
Lebih-lebih menyoroti aksi dan gerakan mahasiswa maupun kaum muda pada umumnya, mampu menantang otoritas administrator universitas dan menuntut kebebasan dan otonomi yang lebih besar. Bahkan berpotensi menumbangkan rezim kekuasaan yang kopeg dan nekrofilias.
Di Indonesia, gerakan protes mahasiswa memainkan peran penting dalam transisi negara menuju demokrasi pada akhir tahun 1990-an. Salah satu karya sastra yang terbit, “Saman” (1998) dari Ayu Utami. Novel ini menangkap semangat gerakan reformasi 1989. Ia mengeksplorasi tema perubahan sosial, aktivisme politik, dan kekuatan mahasiswa.
Karya Utami memberikan wawasan yang kuat tentang konteks historis gerakan protes mahasiswa di Indonesia. Ikut menabalkan kekuatan protes mahasiswa yang menantang otoritas rezim Suharto dan menuntut kebebasan dan demokrasi yang lebih besar.
Selain karya sastra yabg disebut di atas, entah puisi, prosa maupun puisi esai atau gerakan sastra eksil, sastra bisa menjadi produsen perubahan melalui protes mahasiswa dalam membentuk arah gerakan sosial dan politik sepanjang sejarah.
Walhasil, ihwal relasi kreatif antara karya sastra dan protes mahasiswa sangat mendalam dan beraneka ragam. Sastra, apapun genre dan elan vitalnya, telah lama menjadi media yang ampuh untuk mengekspresikan perbedaan pendapat, menantang otoritas, dan mengadvokasi perubahan sosial.
Protes mahasiswa, pada gilirannya, telah menjadi kekuatan pendorong di balik banyak gerakan sastra, yang menginspirasi para penulis untuk menangkap semangat pemberontakan dan aktivisme. Termasuk, akan lahirnya puisi gelap(https://m.kumparan.com/amp/ragam-info/3-contoh-puisi-gelap-dengan-makna-yang-mendalam-22FIYrQtt6C) dan sedang Menunggu Godot dalam sastra Indonesia Gelap:
Di Bawah Selimut Kedamaian Palsu
oleh Wiji Thukul
Apa guna punya ilmu
Kalau hanya untuk mengibuli
Apa gunanya banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu
Di mana-mana moncong senjata
Berdiri gagah
Kongkalikong
Dengan kaum cukong
Di desa-desa
Rakyat dipaksa
Menjual tanah
Tapi, tapi, tapi, tapi
Dengan harga murah
Apa guna banyak baca buku
Kalau mulut kau bungkam melulu
Melalui berbagai karya sastra, penulisnya telah menyuarakan keprihatinan, aspirasi dan cita-cita para pengunjuk rasa mahasiswa dan dapat memberikan bukti abadi tentang kekuatan gerakan yang dipimpin oleh kaum muda.
Sebaliknya, protes mahasiswa yang sering kali dipicu oleh karya sastra seperti karya Wiji Thukul, telah menginspirasi generasi muda untuk menantang status quo dan memperjuangkan dunia yang lebih adil dan setara.
Pada akhirnya, persinggungan antara karya sastra dan protes mahasiswa menyoroti kekuatan abadi seni dan aktivisme untuk membentuk dunia kita dalam menginspirasi perubahan positif.(*)
*) Diteroka berbagai bacaan dan ilustrasi dibantu AI.
Rujukan:
Camus, A. (1951). The Rebel. New York: Alfred A. Knopf.
Rendra.(1993). Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya.
Savio, M. (1965). The Berkeley Student Revolt.
New York: Vintage Books.
Utami, A. (1998). Saman. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.