Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)
DALAM sebuah epos modern yang tak kalah dramatis dari Mahabharata, Indonesia kembali mencetak sejarah. Kali ini, di gelanggang internasional, World Trade Organization (WTO). Musuhnya? Uni Eropa (UE), sang raksasa proteksionisme yang berlindung di balik jargon lingkungan. Senjatanya? Sawit kita, hasil bumi sejuta umat. Ya, kemenangan ini lebih memuaskan dari makan tempe goreng dengan sambal terasi.
Selama bertahun-tahun, UE memandang sawit kita seperti makhluk berisiko tinggi (high ILUC-risk katanya). Seolah-olah pohon sawit di Kalimantan secara pribadi menyerang ladang rapeseed mereka. Tapi jangan lupa, diskriminasi ini dibalut dalam kemasan lingkungan, sebuah alasan mulia untuk menutupi proteksionisme yang keji.
Kini, WTO memutuskan bahwa kebijakan UE adalah diskriminasi terang-terangan. Bayangkan ini seperti menonton pertandingan David vs Goliath versi modern. David kali ini datang dengan minyak sawit, dan Goliath, alias Eropa, tersungkur dengan delegasi regulasinya sendiri.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, tampil bak pahlawan dari novel epik. “Mau nggak mau dunia harus menerima biodiesel sawit kita!” tegasnya. Frasa ini seperti mantra sakti, menggetarkan jantung birokrat Brussels. Ia melanjutkan, kemenangan ini membuktikan bahwa sawit kita lebih dari sekadar minyak goreng. Ia adalah simbol perjuangan bangsa.
Eropa, dengan rapeseed-nya yang sok eksklusif, harus menunduk pada fakta bahwa sawit kita adalah juara sejati. Biodiesel berbasis sawit tak hanya lebih efisien, tetapi juga lebih gigih menghadapi stigma. Mereka bisa bilang apa pun soal “deforestasi,” tapi kita tahu, sawit adalah tulang punggung petani kecil, ikon ketahanan ekonomi, dan bukti bahwa Indonesia bisa menang melawan regulasi absurd.
Mari bicara soal ironi. Eropa, sang juara perubahan iklim, malah mendiskriminasi biodiesel sawit kita yang justru berkontribusi pada energi terbarukan. Mereka menggunakan data yang bahkan menurut WTO kurang valid. Kalau ini pertandingan debat, mereka sudah kalah sejak babak penyisihan.
Dari tempe di meja makan hingga sawit di pengadilan internasional, Indonesia menunjukkan bahwa kita adalah ahli bertahan. Tempe, makanan sederhana yang mendunia, adalah metafora sempurna untuk perjuangan kita. Murah, tapi bergizi. Diremehkan, tapi tak tergantikan. Kini, sawit kita telah membuktikan bahwa dengan kesederhanaan dan tekad, bahkan raksasa pun bisa kita tundukkan.
Kemenangan ini bukan hanya soal biodiesel atau sawit. Ini adalah soal martabat. Dunia kini tahu bahwa Indonesia bukan sekadar negara penghasil komoditas, tapi juga pejuang tangguh di arena internasional. Mari kita rayakan kemenangan ini. Ambil tempe goreng, seduh kopi hitam, dan nikmati momen manis ketika si kecil berhasil menumbangkan si besar. Salam dari negeri sawit!
#camanewak