Irwandi Kusuma Atmadja
SEJAK penetapan tersangka Sekjen PDI Perjuangan, secara beruntun tekanan-tekanan, psywar, dramatisasi termasuk represifitas atas nama hukum dilakukan.
Mari kita lihat satu-persatu. Gerilya gerakan di lapangan dilakukan dengan memasang spanduk “Ketua Umum Ilegal, DPP Ilegal” di berbagai jembatan penyeberangan.
Selanjutnya pemanggilan-pemanggilan sekian banyak kader PDI Perjuangan dalam kurun waktu 30 hari, antara lain, Yassona Laoly, Donni Istiqomah, Maria Lestari, Ahok, Saiful Basri, dan Rizki Aprilia.
Dalam selang-seling hari, semua yang pernah diperiksa KPK lima tahun lalu, juga kembali dipanggil ulang untuk didengar keterangannya, walaupun semua keterangan adalah keterangan yang sama yang disampaikan sebelumnya, baik dalam BAP maupun fakta-fakta persidangan.
Mereka yang dipanggil ulang, Wahyu Setiawan, Ronny Sompi, Tio dan Dony Istiqomah. Dan semua yang dipanggil menjawab semua pertanyaan yang sama dengan jawaban yang sama seperti di BAP dan persidangan lima tahun lalu.
Selanjutnya tekanan melalu aksi aksi demonstrasi juga dilakukan selama tidak kurang delapan hingga 10 kali dengan tuntutan yang sama, tangkap Harun Masiku maupun Sekjen PDI Perjuangan. Aksi-aksi massa bergiliran, bergantian hari dalam rentang waktu berdekatan membuat aroma aksi-aksi rekayasa berbayar tercium sengat.
Merasa masih kurang, maka dramatisasi Penggeledahan di mulai, dua tempat tinggal Hasto Kristiyanto digeledah puluhan anggota KPK dan belasan polisi dengan menyeret-nyeret koper besar yang ternyata isinya hanya flash dish seukuran tidak lebih dari 8 cm dan 1 buah note book berlogo partai berukuran 10 cm x 21 cm dengan tebal kira kira 14 halaman.
Dramatisasi yang menyeramkan bukan? “Barang yang tidak lebih dari 300 gram yang harusnya cukup di bungkus plastik gula 1 kg dibuat menyeramkan dengan koper kira-kira ukuran 28 Inch yang digotong dan dorong ramai-ramai seolah berat puluhan kilo gram.
Apakah sudah berhenti? Belum Ferguso ! Selanjutnya nama ketua umum mulai disebut Jubir KPK, lalu nama ketua umum terkait BLBI 24 tahun juga kembali disebut oleh Wamenaker ex Officio Relawan Jokowi. Apa hubungan wamenaker dengan kasus ranah KPK dan partai tentu tidak ada dalam nomenklatur. Tapi nasi sudah jadi bubur, pernyataan Wamenaker membuat sebagian kader PDI Perjuangan melihat bahwa ada campur tangan pemerintah Prabowo dalam kasus ini.
Seperti tidak mau ketinggalan peran, satu minggu kemarin Effendi Simbolon yang pernah menjadi anggota DPR RI 4 periode dari PDI Perjuangan, yang Pileg kemarin bahkan menempatkan Istrinya menjadi Caleg DPR RI dari PDI Perjuangan, tiba tiba bertemu Jokowi di Solo kemudian kembali ke Jakarta dan dua hari lalu berteriak lantang agar ketua umum PDI Perjuangan di Ganti….! Ketua umum PDI Perjuangan yang menandatangi SK-nya selama empat kali jadi DPR dan menandatangani SK istrinya untuk jadi Caleg sekarang dia tuntut untuk mundur.
Mengerikan bukan? Politik tanpa nilai etik tentu bisa membenarkan kejahatan apa pun, termasuk membunuh orangtuanya sendiri, seperti Malin Kundang yang menyangkal ibu kandungnya sendiri. Persis serupa.
Pernyataan Effendi Simbolon seolah menghentak syaraf kesadaran kita bahwa target sesungguhnya bukan Sekjen PDI Perjuangan, bukan Harun Masiku tapi Ketua Umum PDI Perjuang….. targetnya merebut PDI Perjuangan dengan 110 anggota DPR RI, ribuan DPRD dan ratusan kepala daerah.
Merebut ketua umum artinya merebut PDI Perjuangan dan itu sama saja menguasai ribuan kader di ribuan jabatan. Kasar memang tapi jika berhasil maka untungnya sangat besar.
Benar kata orang, jika kamu bergaul dengan empat pencuri, maka berikutnya kamu akan menjadi pencuri kelima. Jika engkau bergaul dengan empat pengkhianat, maka berikutnya engkau akan jadi pengkhianat kelima.
Di pojok desa yang jauh dari Jakarta, ada seorang kader PDI Perjuangan yang tidak pernah mendapatkan jabatan apa pun selama 30 tahun dia menjadi kader. Dia tidak pernah menjadi Bupati, Walikota, DPRD apalagi DPR RI empat periode. Dia tulis di dinding ruang tamu rumahnya “Apa pun yang terjadi, saya ikut Megawati Soekarno Putri”
Dalam hati saya mengucapkan kalimat itu berkali-kali. Mengulangnya berkali-kali, “Saya ikut Megawati!” Karena dalam diri Megawati ada nilai-nilai, ada sejarah perjuangan, ada pengorbanan besar dan saya mau ikut dia yang punya nilai, punya sejarah dan rela berkorban. (*)