Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Saya Menyimpan Dendam

January 27, 2025 07:45
IMG-20250127-WA0026

Dwi Sutarjantono *)

HATIPENA.COM – Tidak tahu bagaimana dengan Anda, tetapi saya sebenarnya seorang pendendam. Jika merasa hati saya dilukai, biasanya saya akan menyimpannya. Tidak selalu saya luapkan, tetapi saya tahu, saya memendam dendam. Dan karena hidup terus berjalan, berbagai peristiwa silih berganti, saya sadar menjalani hidup ini seperti membawa karung batu di punggung saya. Beratnya memaksa saya membungkuk, sementara langkah-langkah kecil yang saya ambil terasa seperti berjalan di lumpur hisap. Saya tahu saya terluka, tetapi yang lebih menyedihkan, saya menjadi tahanan dari luka itu sendiri.

Dendam, bagi saya, seperti duri dalam daging. Kita terbiasa dengan nyerinya, tetapi setiap kali menyentuhnya, rasa sakit itu bangkit lagi, seolah-olah dendam memiliki kehidupan sendiri. Ia diam-diam berakar di hati, seperti rumput liar yang merusak taman kehidupan kita. Kita pikir dendam memberi kekuatan, tetapi yang ia berikan hanya keletihan dan kehampaan.

Bara dendam menyala dengan janji manis pembalasan. “Tunggu saja,” bisik hati, “balasan itu akan membuat semuanya setara.” Tetapi makin saya menunggu atau membalasnya, semakin bara itu memakan saya dari dalam. Saya sadar, dendam bukanlah pedang tajam yang bisa menebas keadilan. Ia hanyalah tali tak terlihat yang mengikat saya pada luka lama, menjauhkan saya dari kebebasan sejati.

Bayangkan dendam adalah angin beracun yang kita hirup sendiri. Kita pikir itu akan menyakiti orang lain, tetapi racunnya justru memenuhi paru-paru kita, menyesakkan napas, dan melemahkan jiwa. Setiap kali kita memutar ulang kenangan menyakitkan, luka itu menganga kembali. Bukan begitu?

Melepaskan dendam seperti membuka jendela yang lama tertutup di kamar pengap. Angin segar yang masuk mungkin terasa dingin dan asing pada awalnya, tetapi lambat laun, ia menghidupkan kembali ruangan yang hampir mati. Melepaskan dendam adalah memilih untuk memutus rantai yang menahan kita pada masa lalu. Itu bukan tentang mengampuni karena mereka layak, tetapi karena kita berhak atas kebebasan.

Cinta dan belas kasih bisa menjadi penawar racun dendam. Seperti embun yang turun di pagi hari, mereka menyapu debu kekeringan hati kita. Ketika kita memilih untuk melepaskan dendam, kita memberi ruang bagi hal-hal yang lebih indah untuk bertumbuh: kedamaian, kebahagiaan, dan kebebasan.

Dunia ini penuh dengan luka, dan dendam hanya memperdalamnya. Melepaskannya adalah tindakan keberanian yang membuat kita lebih besar dari rasa sakit kita. Ingatlah, dendam bukanlah milik kita yang sejati. Ia hanyalah bayangan gelap yang memudar ketika kita berani menyalakan cahaya cinta di dalam hati. Maka pesan saya perbesarlah mencintai diri sendiri dan mengasih jiwa Anda yang telah lama terbelenggu dendam.

Cara lain untuk melepaskan dendam adalah dengan mempraktikkan teknik self-healing yang dikenal dengan SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique). Teknik yang kerap saya praktikkan untuk diri sendiri dan membantu orang lain ini menggabungkan elemen spiritual, psikologis, dan energi tubuh, menjadi penyelamat saya dari pusaran dendam. Teknik ini bekerja dengan cara mengetuk titik-titik energi di tubuh sambil mengucapkan afirmasi yang membawa kita pada penyembuhan emosional.

Kita diajak untuk mengenali rasa sakit itu, bukan untuk melawannya, tetapi untuk menerimanya. Saya mengetuk pelipis, dada, dan beberapa titik energi lain sambil mengulang kalimat sederhana tetapi menyentuh hati, seperti, “Meskipun saya merasa marah dan terluka, saya sepenuhnya menerima diri saya.” Perlahan, dendam itu tidak lagi menjadi api yang membakar. Ia seperti pasir yang tertiup angin, memudar, meninggalkan ruang dalam hati saya untuk sesuatu yang lebih baik.

Tidak perlu berpikir melepaskan dendam berarti membiarkan ketidakadilan menang. Bukan. Melepaskan dendam adalah membebaskan diri kita dari racun yang selama ini kita minum sendiri. Dan ini memberi saya ruang untuk bernapas, untuk melihat hidup dari sudut yang lebih luas, tanpa dibebani oleh masa lalu yang tak bisa diubah.

Saat melepaskan dendam, saya seperti meletakkan karung batu yang selama ini saya bawa. Punggung saya terasa ringan, langkah saya menjadi lebih tegap, dan dunia tampak lebih cerah. Saya menyadari bahwa dendam tidak pernah memperbaiki apa pun. Ia seperti ranting kering yang kita bakar di malam yang dingin; nyalanya singkat, tetapi asapnya memedihkan mata kita.
Saya belajar bahwa cinta dan belas kasih adalah kekuatan yang jauh lebih besar. Saya bukan lagi tahanan dari luka saya, melainkan seorang pelukis yang mampu melukis kembali kanvas hidup saya, meski penuh guratan masa lalu.

Jika Anda merasa hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dalam bayangan luka lama, lepaskanlah. Biarkan hati Anda terbebas, seperti burung yang kembali ke langit setelah bertahun-tahun dikurung dalam sangkar. Anda berhak atas kebahagiaan, dan kebahagiaan itu dimulai ketika Anda memilih untuk memaafkan: bukan untuk mereka, tetapi untuk diri Anda sendiri. (*)

*) Penulis/Mind Programmer