Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Schopenhauer dan Politik Lara

February 22, 2025 18:16
IMG-20250220-WA0017

ilustrasi: AI/ ReO

oleh ReO Fiksiwan *)

HATIPENA.COM – “Saya tidak menulis demi bayarannya, karena terbukti tidak signifikan. Tapi, untuk menerbitkan karya yang telah dipikirkan dengan matang dan susah payah — hasil dari bertahun-tahun bahkan seluruh hidup saya — ke dalam cetakan untuk disimpan dan dikomunikasikan.

Oleh karena itu, Anda tidak perlu melihat saya dan memperlakukan saya seperti Anda melakukan percakapan Anda — penulis ensiklopedia dan juru tulis buruk serupa — yang tak memiliki kesamaan dengan saya selain penggunaan tinta dan pena secara tidak sengaja.” — Arthur Schopenhauer (Aphorismen).

Arthur Schopenhauer, lahir di Danzig 22 Februari 1788 dan wafat di Frankfurt, 21 September 1860, tergolong filsuf Jerman yang kritis terhadap politik.
Ia memandang politik sebagai sarana untuk mempertahankan hubungan kekuasaan yang ada dan bukan sebagai instrumen untuk mencapai keadilan atau kebahagiaan.

Baginya, politik adalah bagian dari “keinginan untuk hidup” yang mengarahkan masyarakat untuk menegaskan kepentingan dan klaimnya atas kekuasaan. Schopenhauer juga seorang kritikus keras terhadap demokrasi, melihatnya sebagai bentuk “pemerintahan oleh massa”. Ia khawatir demokrasi dapat mengarah pada tirani mayoritas yang mengabaikan hak-hak minoritas.

Terlepas dari sikap kritisnya terhadap politik, Schopenhauer melihat perlunya pemerintah dan hukum untuk menertibkan masyarakat dan menghindari konflik. Namun, ia menganjurkan pemerintahan minimalis yang sebatas menjaga hukum dan ketertiban dan tidak berusaha mengubah atau “memperbaiki” masyarakat¹.

Secara keseluruhan, sikap Schopenhauer terhadap politik bercirikan skeptisisme dan kritik. Ia memandang politik sebagai sebuah kejahatan yang diperlukan, namun tidak dapat membantu memecahkan masalah-masalah mendasar.

Menurut Schopenhauer, manusia didorong oleh keinginan mendasar mereka untuk hidup, yang dicirikan oleh keinginan, kebutuhan, dan aspirasi yang tak terpuaskan. Namun, keinginan untuk hidup ini pada dasarnya bertentangan dengan keterbatasan dan hambatan yang diberlakukan oleh dunia.

Akibatnya, keberadaan manusia ditandai oleh rasa ketidakpuasan, frustrasi, dan penderitaan yang terus-menerus. Schopenhauer menyebut aspek fundamental dari keberadaan manusia ini sebagai “penderitaan keinginan.”

Dalam ranah politik, penderitaan keinginan ini terwujud dalam berbagai cara. Politisi, yang didorong oleh ambisi dan keinginan mereka sendiri, menjanjikan konstituen mereka masa depan yang lebih baik, masyarakat utopis, atau dunia yang bebas dari masalah.

Namun, janji-janji ini sering kali tidak terpenuhi, dan kesenjangan antara harapan dan kenyataan semakin lebar. Ketimpangan ini menyebabkan kekecewaan, frustrasi, dan kesedihan di antara warga negara, yang merasa bahwa harapan dan aspirasi mereka telah dikhianati.

Selain itu, sifat kompetitif dan sifat permusuhan yang melekat dalam politik memperburuk rasa sedih ini. Politisi, dalam upaya mereka untuk mendapatkan kekuasaan dan pengaruh, sering kali terlibat dalam retorika yang memecah belah, menjadikan lawan sebagai kambing hitam, dan menjelek-jelekkan mereka.

Hal ini menciptakan suasana penuh toksit dan kemaruk, menumbuhkan ketidakpercayaan, kemarahan publik hingga permusuhan di antara warga negara. Seperti yang dikatakan Schopenhauer, ini adalah manifestasi dari “keinginan untuk hidup” dalam bentuknya yang paling primitif(biadab) dan merusak.

Lebih jauh lagi, sifat birokrasi dan institusional politik sering kali menimbulkan rasa keterasingan dan keterputusan di antara warga negara. Kompleksitas dan abstraksi dari proses pengambilan keputusan politik dapat membuat individu merasa tidak berdaya, terputus hubungan, dan sedih. Rasa keterasingan ini merupakan akibat langsung dari kesenjangan antara keinginan individu untuk hidup dan sifat lembaga politik yang impersonal dan mekanistik.

Sebaliknya, menurut Schopenhauer, rasa kasihan (Mitleid) adalah aspek penting dari sifat manusia, namun sering kali hilang dalam politik. Ia memandang politik sebagai bidang di mana masyarakat mengejar kepentingan dan klaim kekuasaannya tanpa memperhitungkan kebutuhan dan penderitaan orang lain.

Schopenhauer mengkritik politik karena sering kali dilakukan atas dasar egoisme, keegoisan, dan keinginan akan kekuasaan. Justru bukan atas dasar rasa kasihan dan kasih sayang. Ia memandang politik sebagai alat yang digunakan untuk melindungi kepentingan kelompok berkuasa dan kaya, namun mengabaikan kebutuhan kelompok lemah dan miskin.

Meski demikian, Schopenhauer melihat belas kasih sebagai kebajikan penting yang harus mendapat perhatian lebih dalam politik. Ia percaya bahwa politik harus lebih fokus pada kebutuhan dan penderitaan rakyat daripada kepentingan kelompok berkuasa dan kaya.

Dalam karyanya “Tentang Kebebasan Kehendak Manusia”(lengkap: Die beiden Grundprobleme der Ethik: Ueber die Freiheit des menschlichen Willens, Ueber das Fundament der Moral,1841),
Schopenhauer menulis:

“Belas kasih(Mitleid) adalah satu-satunya kebajikan(Gabe) yang secara langsung mewajibkan kita untuk memberi manfaat bagi orang lain… Politik harus lebih diarahkan pada belas kasih dan bukan pada egoisme.”

Secara keseluruhan, Schopenhauer melihat belas kasih sebagai komponen penting dalam politik yang adil dan manusiawi, namun seringkali tidak ada dalam kenyataan. Ia cepat lenyap akibat hasrat politik berlebihan dalam menikmati ego kesenangan dan kemewahannya. “Watak ini wabah masif dan gesit menjangkiti semua pemangku kuasa.”

Akhirnya, konsep “politik lara”(Politik der Traurigkeit) berakar dalam pada kondisi manusia, seperti yang dijelaskan oleh Schopenhauer: “Penderitaan keinginan, sifat persaingan dan permusuhan yang melekat dalam politik dan efek keterasingan dari lembaga birokrasi, semuanya berkontribusi pada rasa sedih(Traurigkeit) dan kekecewaan(Enttäuschung) yang meluas dalam ranah politik.”

Demikian di lain kesempatan dan produktivitas menulis Schopenhauer hingga uzur 72 tahun — 22 Februari 2025 bertepatan dengan 269 tahun kelahirannya, ia katakan, “kesedihan ini merupakan aspek yang tak terelakkan dari keberadaan manusia, sebuah refleksi dari ketidaksesuaian mendasar antara aspirasi kita dan keterbatasan dunia.” (*)

Rujukan:

Schopenhauer, A. Die Welt als Wille und Vorstellung (Digitalisat, BSB München, 1844)

Schopenhauer, A. (1851). Parerga und Paralipomena, 1851(https://books.google.co.id/books?id=WuUOAAAAIAAJ&redir_esc=y).

Shopenhauer, A. (1976). Aphorismen zur Lebensweishet. Insel Verlag Frankfurht am Main.

Magee, B. (1997). The Philosophy of
Schopenhauer. Oxford University Press.

*Ditulis dengan referensi dan lukisan Schopenhauer bersama politikus parlemen dibantu AI.