Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Lama tak nulis bulutangkis. Olahraga kegemaran Indonesia sebelum ada Megawati Hangestri Pertiwi. Cuma, kali ini olahraga tepuk bulu ini kembali gagal persembahkan gelar. Kita bahas para pendekar bulutangkis kita di All England, tadi malam.
Seperti takdir yang memang telah tertulis di lembaran suram, Indonesia harus pulang dari All England 2025 dengan tangan hampa. Leo Rolly Carnando dan Bagas Maulana, sang harapan terakhir, terjatuh di bibir kemenangan, terpeleset di tepi jurang kejayaan. Skor 21-19, 21-19 menjadi palu godam yang menghantam dada para pecinta bulu tangkis tanah air, dua angka yang memisahkan mimpi dari kenyataan, dua angka yang membedakan antara kejayaan dan nestapa.
Kim Won Ho dan Seo Seung Jae, dua samurai dari Korea Selatan, menjadi algojo yang mengakhiri petualangan Leo/Bagas di panggung megah Utilita Arena Birmingham. Bukan karena Leo/Bagas tak cukup kuat, bukan pula karena mereka kurang berjuang. Mereka telah bertarung dengan segala yang dimiliki, keringat, tenaga, dan mungkin, sepotong jiwa mereka telah tertinggal di lapangan itu. Tapi takdir, seperti biasa, adalah pelawak yang gemar mempermainkan perasaan.
Set pertama berjalan ketat, seperti adu ketangkasan dua pendekar silat di ujung tebing. Leo/Bagas sempat memimpin, tapi di saat mereka hendak mengunci kemenangan, Kim/Seo mencuri angka dengan kecepatan yang mematikan. Smash keras Leo meluncur deras, tapi seperti bayangan, Kim dan Seo menari di atas angin, mengembalikan setiap pukulan dengan ketenangan seorang pendekar tua yang telah kenyang bertarung di medan laga. Skor 21-19, set pertama pun lenyap di genggaman.
Set kedua adalah tarian kematian yang lebih pilu. Leo/Bagas kembali berjuang, menggali semangat dari sisa tenaga yang nyaris terkuras. Mereka sempat memimpin, sempat membuat asa itu menyala kembali. Tapi, oh, betapa kejamnya kenyataan, satu pukulan menyilang dari Seo Seung Jae di titik krusial menghempaskan harapan terakhir. Skor kembali 21-19. Gelar yang sudah terasa di ujung genggaman itu terbang, seperti daun kering yang tertiup angin musim gugur di Birmingham.
Di sana, Leo dan Bagas hanya bisa menunduk. Kamera menyorot raut wajah mereka yang penuh luka, bukan luka fisik, melainkan luka batin, luka yang mungkin akan mereka bawa dalam tidur panjang mereka malam ini. Kim Won Ho dan Seo Seung Jae tersenyum, mengangkat trofi, menyerap sorakan penonton yang berdiri memberikan tepuk tangan. Leo/Bagas? Mereka pulang, membawa duka yang tak terlihat, tapi terasa berat menekan dada.
Kita boleh berkata, “Mereka sudah berjuang dengan baik.” Kita boleh menenangkan diri dengan, “Setidaknya mereka sampai final.” Tapi, apakah itu cukup? Tidak. Ini All England, tanah suci bagi bulu tangkis Indonesia, tempat legenda lahir dan kejayaan ditorehkan. Leo/Bagas nyaris mencatat sejarah, tapi nyaris bukanlah kemenangan. Nyaris, sayangnya, takkan dikenang dalam lembaran emas sejarah.
Mungkin ini bukan akhir, tapi luka ini akan menetap. Leo dan Bagas harus kembali berdiri, mengasah raket dan mental mereka untuk pertarungan berikutnya. Kita, para pecinta bulu tangkis, akan kembali berharap, menunggu hari di mana nama Indonesia kembali dipanggil di podium tertinggi All England. Sampai saat itu tiba, kita hanya bisa menatap kosong ke layar kaca, menyaksikan gelar itu diangkat oleh tangan yang bukan milik kita.
Selamat untuk Kim Won Ho dan Seo Seung Jae. Terima kasih untuk Leo dan Bagas. Untuk kita semua, mari simpan luka ini sebagai pengingat, bahwa kemenangan bukanlah milik mereka yang hampir menang, melainkan milik mereka yang tak pernah goyah saat kemenangan itu tinggal satu pukulan lagi. (*)
#camanewak