Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Sedikit Mengenal Personel PT. GAG yang Merusak Raja Ampat

June 8, 2025 16:03
IMG-20250608-WA0067

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar


HATIPENA.COM – Kemarin saya sudah mengenal PT. GAG Nikel, anak perusahaan dari PT. Antam Tbk. Sekarang, saya mau mengenalkan para personel, orang-orang hebat yang menjadi aktor utama perusahaan tersebut. Siapkan kopi tanpa gulanya, wak! Narasi ini akan membangkitkan kecintaan kita pada lingkungan hidup.

Di antara gugusan permata laut yang disebut Raja Ampat, berdirilah Pulau Gag, surga kecil yang dulu hanya dikenal oleh nelayan dan burung cendrawasih. Namun sejak PT GAG Nikel datang membawa bendera investasi, ekskavator, dan presentasi PowerPoint yang lebih licin dari minyak goreng curah, pulau ini tak lagi suci. Ia kini menjadi altar persembahan bagi Oligarki, Dewa Baru dalam kitab ekonomi Indonesia modern.

Mereka datang seperti malaikat. Menyamar dalam jubah CSR. Menawarkan pekerjaan yang tak sebanding dengan ekosistem yang mereka kikis. Dengan nama-nama sakti yang membuat wartawan lingkungan muntah data, mereka duduk di singgasana perusahaan. Ada nama Hermansyah sebagai Presiden Komisaris. Katanya punya pengalaman luas dalam industri tambang, mungkin juga pengalaman menyaksikan kerusakan dari helikopter. Ada Lana Saria, komisaris yang sebelumnya pejabat ESDM, sebuah lembaga yang entah tugasnya menjaga sumber daya alam atau menjualnya perlahan-lahan.

Ada nama Ahmad Fahrur Rozi, sang komisaris dengan spesialisasi manajemen risiko, mungkin satu-satunya risiko yang ia hitung adalah menurunnya harga saham, bukan tenggelamnya desa pesisir. Kalau kalian tahu Kiyai Imad, pasti juga tahu siapa Ahmad Fahrur Rozi ini. Tentu, Saptono Adji, ahli strategi pertambangan, mungkin juga ahli strategi pelupaan publik.

Di kursi operasional, duduklah Arya Arditya Kurnia. Plt. Presiden Direktur sekaligus Direktur Operasi. Laki-laki ini punya dua tangan. Satu untuk menggali bumi, satu lagi untuk mengetuk meja saat konferensi pers. Ia tak sendiri. Ada Aji Priyo Anggoro di sisi lain, Direktur Keuangan, Manajemen Risiko, dan SDM, tiga bidang yang jika digabungkan bisa membuat manusia terasa seperti spreadsheet.

Pada 5 Juni 2025, operasi tambang mereka diberhentikan sementara oleh Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Tentu saja sementara adalah kata paling licik dalam kamus birokrasi. Ia bukan penundaan. Ia cuma jeda sebelum kerusakan berlanjut dengan lebih banyak dokumen legal dan pengesahan resmi. Arya, seperti biasa, menyambut keputusan itu dengan senyum corporate. Ia menyatakan siap memberikan dokumen pendukung. Dokumen, ya, bukan kehidupan terumbu karang yang mati atau hutan sagu yang hilang. Dokumen, yang selalu bisa ditulis ulang, tidak seperti tanah adat yang telah dikeruk.

Di balik angka-angka keuntungan, ada rakyat Papua Barat yang marah, muak, dan nyaris menyerah. Mereka bicara tentang pengelolaan sumber daya alam yang adil, tentang keterlibatan masyarakat asli, tentang tanah yang bukan cuma tanah, tapi warisan leluhur dan ibu kehidupan. Tapi siapa yang mendengar? Pemerintah pusat sibuk mengejar target pertumbuhan, sambil menjilat manisnya royaltinya sendiri. Mereka berdalih “pembangunan nasional”, padahal yang dibangun hanya rekening-rekening milik minoritas superkaya.

Ini bukan sekadar konflik antara tambang dan lingkungan. Ini perang sunyi antara keserakahan yang disahkan negara dan hak hidup yang diwariskan nenek moyang. Ketika Pulau Gag dilubangi, yang keluar bukan cuma nikel. Tapi juga air mata, kemarahan, dan suara-suara rakyat yang terlalu sering dianggap angin lalu.

Jika hari ini kita masih bisa melihat cendrawasih menari di atas pohon, jangan senang dulu. Mungkin besok ia sudah menari di atas papan pengumuman “Akan Dibangun Smelter Ramah Lingkungan.” Sebab di negeri ini, bahkan cendrawasih pun tak aman dari birokrasi dan modal.

Sementara kita sibuk membuat podcast lingkungan dan lomba menulis puisi konservasi, para komisaris terus tertawa di balik kaca gedung tinggi. Karena yang mereka selamatkan bukan pulau, bukan rakyat, tapi profit margin kuartal ketiga. (*)

#camanewak