Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Sein Zum Tode

June 11, 2025 09:37
IMG-20250611-WA0036

Oleh ReO Fiksiwan

“Barang siapa tidak memahami cara mati yang baik, dia akan menjalani hidupnya dengan buruk.“ — Seneca (4-65 SM).


HATIPENA.COM – Ajal bukan sekedar fenomena alam. Ia akhir dari eksistensi absolut tiap yang hidup.

Selain agama, kabar dan pasal kematian dianggap absurd oleh kaum eksistensialisme. Di antaranya, Camus dan Sartre.

Karena itu, tagar Sein zum Tode, berasal dari pentolan eksistensialisme, Martin Heidegger (1889-1976), ikut memperkenalkan konsep “Ada untuk Mati“ yang menjelaskan bagaimana manusia berhubungan dengan kematian dan sebaliknya, kematian mempengaruhi keberadaan manusia.

“Sein zum Tode”, harfiah berarti “menuju kematian” atau “keberadaan menuju kematian”.

Diacu dari Heidegger, Sein und Zeit (1927, manusia memiliki kesadaran unik tentang kematian dan membedakannya dari makhluk lain.

Berikut ide kematian Heidegger dikutipkan:

/1/ Der Tod ist die Möglichkeit der
schlechthinnigen Daseinsunmöglichkeit (Heidegger, 1927:250).

Translasi:
Kematian adalah kemungkinan
ketidakmungkinan keberadaan yang paling radikal.

/2/ Das Sein zum Tode ist wesenhaft
Angst (Heidegger, 1927: 266).

Translasi:
Keberadaan menuju kematian pada
dasarnya adalah kecemasan.”

/3/ Der Tod ist die eigenste, unbezügliche,
unüberholbare Möglichkeit des
Daseins (Heidegger, 1927: 258)

Translasi:
Kematian adalah kemungkinan yang
paling sendiri, tidak terkait, dan tidak dapat
diatasi dari keberadaan.

Kesadaran akan kematian memungkinkan manusia untuk memahami keberadaannya sebagai sesuatu yang terbatas dan sementara.

Dengan lain kata, kematian memungkinkan manusia untuk hidup secara otentik. Bukan identik sebagai tubuh beku atau “bangkai hidup.“

Untuk itu, baik maupun mati, manusia suka dan terpaksa harus mengambil tanggung jawab atas keberadaannya sendiri.

Dengan mengakui bahwa kematian sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan, manusia dapat menjalani hidup dengan lebih sadar dan bermakna.

Diktum Sein zum Tode” bukanlah hanya tentang kematian itu sendiri. Tapi, tentang bagaimana kesadaran akan kematian membentuk cara manusia menjalani hidup dan memahami eksistensinya (Bandingkan, F.B. Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, 2016).

Suatu ketika di era krisis lingkungan, Ihwal kematian mencuat di kalangan aktivis lingkungan. Tentu, kematian yang didiskusikan terkait kematian ekologi (extinction).

Aktivis ekologi, Rachel Larson, via Silent Spring (1962),memicu potensi dan jenis kematian yang disemprotkan dari pestisida.

Demikian hal kematian masif 2020 silam melalui pandemi Cocid-19.

Di tengah lasaknya pandemi saat itu, kematian hadir layaknya kehidupan itu sendiri. Ia, kematian itu, meski terasa seperti peristiwa absurd dan misteri, kehadirannya sangat meresahkan dan menggoyah kaum percaya sekalipun.

Jika absurd dan pasti, lantas apa dasar takut dan gentar orang pada kematian? Sementara, sadar atau tidak, kematian terus beredar tanpa henti.

Mistikus asal India Sri Eknath Easwaran (1910-1999) yang bermukim di Amerika sejak menempuh studi fullbright sastra Inggris pada 1959, mencoba menerangi hakikat: Sein zum Tode.

Melalui buku Easwaran, Dialog dengan Maut (Gramedia,2000), kehidupan diberi perspektif yang cerah dengan cara bagaimana memaknai kematian sebagaimana kehidupan itu sendiri.

Untuk menyederhanakan pemaknaan atas siklus kehidupan vs kematian, Easwaran menawarkan dua syarat dialog: preya dan shreya.

/1/ Preya, hidup dan mati harus dihadapi sebagai metode yang menyenangkan atau harus bisa bikin kita bahagia.

Tak perlu mengutuk kehidupan yang lebih banyak menghasilkan berkat dengan bekal apapun secara melimpah oleh alam.

Misal, bernafas dan nikmat hirup udara pagi. Bagi hidup bagkan matipun Preya menjadi syarat prima hidup-mati.

/2/ Shreya, semestinya penghayatan atas hidup sebagai kelimpahan (goodluck) memberi peluang nyaris tanpa batas.

„Berikan apapun yang kau punya. Maka, keuntungan sesungguhnya akan selalu di dekatmu.”

Shreya, tahapan karib terdekat yang selalu mengiringi hingga kelak ajal menjemput.

Karena itu, ajaran Easwaran seperti juga pernah diutarakan pada abad keempat sebelum masehi oleh Seneca (How to Die: An Ancient Guide to the End of Life, Gramedia,2017) dan abad keduabelas masehi oleh Al-Ghazali (Metode Menjemput Maut, Mizan,2001), telah menempatkan hakikat kematian bukan kutukan atau ancaman bagi kehidupan.

Akan tetapi, sebagaimana kehidupan, kematianpun — memonto mori — merupakan fakta yang masing-masing memiliki relasi padu, — integralistik dan hidden connection — yang didasari atas logika faktual yang pasti, predictable.

Dialog kematian versi Easwaran sebagai dialog dualitas ‘preya’ (kebahagiaan) dan ‘shreya’ (keberuntungan), pun siklus hidup-mati menjadi asas dan landasan bagi ‘biologi iman’ Bruce Lipton (80) dan ‚matriks ilahi’ Gregg Braden (70).

Hidup adalah jalan, via. Matipun via.

Bagi keduanya, sebagai via spiritualitas, tersedia lima fasilitas:

Via Negativa(penolakan)
Via Meditatio(pertimbangan)
Via Comtemplativa(perenungan)
Via Illuminativa(pencerahan)
Via Purgativa(penyucian).

Coba dan mulailah!