Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Sekolah di Gaza Meledak, Pesan Paus Dilecehkan

April 24, 2025 10:57
IMG-20250424-WA0026

Catatan Satire; Rizal Pandiya

HATIPENA.COM – Paus Fransiskus, yang dalam detik-detik terakhir hidupnya berusaha menyuarakan pesan kemanusiaan, seolah-olah dilecehkan oleh kenyataan yang terjadi setelahnya. Di saat dunia masih bergelut dengan gema kata-kata damainya yang meminta agar perang dihentikan demi anak-anak Gaza, Israel justru menjawabnya dengan bom yang menghancurkan sebuah sekolah, sebuah tempat yang seharusnya jadi pelindung dan tempat belajar.

Dua puluh tiga anak-anak yang bahkan belum mengerti apa itu perang, tewas seketika, menjadi bukti betapa dangkalnya peringatan Paus dianggap. Kata-kata damai itu, yang semestinya menjadi dasar perubahan, malah tergilas dalam deru mesin perang yang tak kenal ampun. Apa lagi yang harus kita tunggu, jika suara Paus pun seolah tak lebih berharga dari sebatang roket yang diluncurkan tanpa rasa bersalah?

Pagi baru saja merekah di Gaza ketika dunia dikejutkan oleh dentuman bom. Bukan di markas militer, bukan di gudang senjata, tapi di sekolah. Tempat anak-anak belajar alfabet, bukan belajar strategi bertempur. Sebanyak 23 anak-anak tewas seketika. Tak satu pun membawa senapan, paling banter pensil warna. Tapi rupanya, di mata negara yang merasa dirinya korban abadi, anak-anak Gaza tetap dianggap ancaman potensial masa depan.

Ironisnya, hanya beberapa jam sebelumnya, Paus Fransiskus—dalam nafas-nafas terakhirnya—masih sempat menyampaikan pesan damai yang kini bergema di antara reruntuhan Gaza. “Hentikan perang. Hentikan pembantaian. Demi anak-anak Gaza.” Dunia menunduk, sebagian berlinang air mata, sebagian sibuk mengedit video Reels ucapan solidaritas. Tapi Israel? Mereka menjawab doa itu dengan bom. Sebuah liturgi kematian yang ditulis dengan roket dan disegel dengan tubuh mungil tak bernyawa.

Kini, Paus Fransiskus telah pergi, meski dunia memilih menutup telinga. Di Gaza, suara bom masih lebih nyaring daripada doa. Dan kita? Masih sibuk memperdebatkan siapa yang benar, sementara anak-anak terus menjadi korban.

Dan Paus, yang menghembuskan napas terakhir di Casa Santa Marta, mungkin akhirnya benar-benar memilih diam. Bukan karena lelah berbicara, tapi karena dunia sudah terlalu bising untuk mendengar.

Kita masih dalam suasana duka. Dunia belum benar-benar sembuh dari perpisahan dengan Paus Fransiskus, setidaknya secara simbolik. Bukan karena beliau telah tiada, tapi karena tubuhnya yang rapuh dari pesan-pesan damainya. Suara yang dulu menggelegar dari Balcón Apostólico di Basilika Santo Petrus, Vatikan, terdengar seperti bisikan dari ruang perawatan: lemah, namun masih menggetarkan jiwa.

Ada yang berkata, “Jika kau ingin damai, bersiaplah untuk perang. Tapi jika kau ingin perang, cobalah berdamai terlebih dahulu.” Kalimat itu bukan paradoks, tapi sindiran bagi dunia yang sok cinta damai tapi hobi ngumpulin senjata.

Dan lihatlah Gaza. Perang masih jadi playlist utama. Bom dijatuhkan seperti kembang api tahun baru. Anak-anak jadi angka. Rumah-rumah jadi puing. Doa jadi konten. Kemanusiaan? Tinggal status whatsapp para netizen. Dan tentu tidak lupa dengan pesan ajaibnya, “Share, jika tidak, berarti kamu bagian dari zionis!”

Paus sudah bicara, berkali-kali. Tapi siapa yang mendengar? Vatikan khusyuk. Yerusalem gaduh. PBB mengutuk dengan font Times New Roman, ukuran 12, rapi, tapi basi. Sementara itu, Israel? Negara yang kalau diingatkan malah tambah beringas. Sudah seperti murid bandel di kelas yang setiap kali dimarahi guru, malah nyolong kapur.

Paus memimpin misa Paskah dengan kondisi tubuh yang baru keluar dari ruang rawat inap. Dalam kelemahan fisik itu, ia masih sempat menyerukan satu hal, “Stop perang.” Tapi dunia seperti kena gangguan pendengaran spiritual. Atau mungkin memang pura-pura budeg karena sedang sibuk buka notifikasi promo dan tiket arus balik yang masih tersisa.

Israel seolah hidup di alamnya sendiri. Tak takut dihujat, tak peduli disidang, tak goyah walau dikutuk berjamaah. PBB? Cuma jadi tempat rapat dengan AC dingin dan makanan katering. Negara-negara besar? Sibuk main geopolitik. Main catur pakai pion dari daging dan darah manusia.

Lalu dunia bertanya, “Kenapa Israel tidak takut pada siapa pun?” Jawabannya sederhana, karena selama ini dunia cuma menggonggong, tapi tidak pernah menggigit. Dan Israel tahu betul, kadang menggonggong pun bisa dijadikan dalih untuk menembak balik.

Jadi, Paus pun akhirnya cuma jadi suara lembut di tengah bisingnya drone, rudal, dan gemuruh kepentingan ekonomi. Kalau boleh jujur, bahkan mungkin Yesus sendiri pun, kalau turun lagi, akan dibikin frustrasi melihat umat-Nya saling seruduk atas nama damai.

Tapi tenang, dunia belum kiamat. Masih ada harapan. Minimal masih ada kita yang bisa menulis, menertawakan kegilaan ini, dan terus mengingatkan, meski dengan gaya satire dan sarkastis.

Karena kadang, satu tawa bisa membuka lebih banyak hati daripada seribu ceramah. Dan mungkin, siapa tahu, kelak Israel juga akan sadar……kalau mereka pun manusia, bukan Tuhan yang pakai seragam tentara.

Dan jika Paus Fransiskus mengingatkan kita, meskipun dalam tubuh yang sudah rapuh, kita pun bisa mengikuti jejaknya. Tidak perlu senjata untuk memanggil perdamaian. Cukup bicara, sedikit humor, dan sedikit harapan. Siapa tahu, di tengah semua kebisuan itu, kita bisa jadi suara yang tak hanya menggonggong, tapi menggigit. Dan jika Israel tidak mendengar? mungkin kita akan jadi tawa terakhir yang mereka tak duga.

Semoga Paus bisa tenang di tempat peristirahatan terakhirnya. Anak-anak gaza akan ikut berbaring bersamamu, Pope. (*)