Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
HATIPENA – Kesadaran para orang tua terhadap masa depan anak-anaknya kini menjelma menjadi obsesi yang membanggakan sekaligus merisaukan.
Beda pada era orang tuanya sendiri, pada masa itu mencari sekolah suka-suka si anak, bisa-bisa si anak, mulai memilih, mendaftar, sekaligus berkompetisi. Orang tua hanya menerima laporan si anak. Diterima, daftar ulang, orang tua tinggal bayar. Tak diterima tinggal pilih swasta. Tak banyak yang ribut.
Tapi sekarang, disadari atau tidak, diakui atau ditampik, satu hal menjadi nyata: para orang tua kini berkompetisi. Justru mereka berlomba-lomba memastikan anak-anak masuk ke sekolah negeri yang terbaik—dari jenjang SD, SMP hingga SMA.
Sekolah swasta banyak yang bagus namun nyaris tak menjadi “barang” rebutan karena dominan yang menentukan adalah kemampuan finansial.
Para orang tua jauh-jauh hari mengklasifikasikan sekolah negeri mana yang baik di daerahnya, memilah yang dianggap unggul, dan menaruh harapan di sana, seolah masa depan anak-anak hanya dapat tumbuh di tempat-tempat itu.
Lalu muncullah istilah yang tak asing di telinga: sekolah favorit. Sekolah elit. Sekolah yang dipuja yang menjadi ajang perebutan, yang seringkali menjadi panggung drama pada setiap tahun ajaran baru.
Tak hanya anak-anak yang membawa nilai, banyai dari para orang tua membawa kuasa, mencari jalur belakang yang menusuknya dengan duit. Inilah yang membuat penerimaan siawa baru selalu ada yang ramai.
Di sinilah paradoks itu berakar: cinta orang tua yang murni kadang tercemari oleh cara-cara yang tidak murni. Jalur belakang. Ada yang menang karena punya koneksi, ada yang tak segan-segan mengantongi rekomendasi dari pejabat berdasi, anggota dewan, atau siapa saja yang bertaji.
Sekolah pavorit menjerit. Serba salah. Tak ditindaklanjuti dasi kepala sekolah bisa diamputasi. Ditindaklanjuti, sistem menjadi basi. Kompetisi menjadi tidak fair.
Ada pula yang menggenggam uang, menjadikannya alat tawar untuk membeli bangku sekolah, berapa pun harganya.
Padahal, kompetisi dalam mencari sekolah terbaik adalah sesuatu yang patut diapresiasi. Itu tanda bahwa pendidikan kini dipandang sebagai hal mulia.
Namun, ketika kompetisi tercemari oleh praktik curang—oleh sogokan, kolusi, dan koncoisme—maka sistem pun retak dari dalam.
Penerimaan siswa baru, yang seharusnya adil transparan, dan bergensi, berubah menjadi panggung sandiwara yang penuh kepalsuan. Setiap tahun selalu saja ada protes sana sini, Ombudsman turun tangan.
Sekolah-sekolah favorit menjadi simbol ketimpangan. Mengapa bisa ada sekolah yang dianggap unggul dan yang lain seakan kelas dua? Bukankah semua sekolah negeri seharusnya diperlakukan setara oleh negara?
Tapi kenyataan tak sesederhana itu. Ada sekolah yang berjaya karena sejarah panjang, karena alumninya menjelma menjadi pejabat dan orang sukses. Ada yang unggul karena fasilitas mentereng, berada di jantung kota, laboratorium megah, atau sekadar karena gengsi yang telah lama melekat.
Di tengah semua itu, tugas besar menanti para pemilik dan pengelola pendidikan.
Pemerintah kabupaten dan kota mesti menyamakan kualitas SD dan SMP di wilayahnya karena SD dan SMP adalah “milik” kabupaten/kota.
Begitu pula pemerintah provinsi terhadap SMA dan SMK. Agar tak ada lagi ketimpangan, agar orang tua tak perlu khawatir di sekolah mana pun anaknya berada, selama sistemnya adil, fasilitasnya merata, dan prestasi bukan milik segelintir sekolah saja.
Pendidikan sejatinya bukan soal tempat yang favorit, apalagi elit, tetapi tentang tempat yang adil—yang memberi setiap anak hak yang sama untuk bermimpi dan tumbuh. (*)
Denpasar, 24 Mei 2025