Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Selamat Datang di Era Orde Baru 2.0

March 24, 2025 18:49
IMG-20250324-WA0094

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

“Sipil udah dikasih kesempatan 20 tahun, apa hasilnya. Korupsi makin parah, premanisme merajalela,” komentar netizen pembela UU TNI.

HATIPENA.COM – “Lho mau, begitu komentar kritik pemerintah, esok lusa diciduk atau diintimidasi. Lihat tu Tempo, belum apa-apa sudah dikirimi kepala babi,” sahut pembela reformasi sipil.

Menarik ya, wak? Sambil menunggu beduk, kita kupas apa kelebihan dan kelemahan zaman Orba dan Reformasi.

Indonesia, negeri kita! Negara yang gemar sekali bernostalgia. Setelah sekian lama berjuang keluar dari bayang-bayang masa lalu, kini kita malah berlari-lari kecil sambil melambaikan tangan ke arah Orde Baru. Mungkin karena kita kangen stabilitas? Atau mungkin karena kita merasa kehidupan di era Reformasi ini terlalu “bebas” dan “ribet”? Jangan khawatir, Dewan yang terhormat baru saja mengetok palu untuk memastikan kita bisa merasakan kembali “nikmatnya” hidup di bawah bayang-bayang militerisme.

Orde Baru itu ibarat rumah kontrakan yang dikelola seorang tuan rumah galak, tapi rajin bersih-bersih dan memastikan semua penghuni tertib. Kalau ada yang ribut, langsung dikasih peringatan keras. Atau, mungkin diungsikan ke Pulau Buru sekalian. Pada masa itu, stabilitas politik jadi primadona. Nggak ada tuh ribut-ribut pilkada (maaf belum ada pilkada, ya) nggak ada meme politik di medsos (ya iya lah, internet aja belum ada). Pembangunan ekonomi juga gila-gilaan. Jalan tol, waduk, dan jembatan bertebaran di mana-mana. Pokoknya kalau soal beton-betonan, Orde Baru juaranya! Pertumbuhan ekonomi pun sempat meroket di angka 7% per tahun pada 1980-an. Tapi ya, semua itu ada harganya. Otoritarianisme menjadi santapan sehari-hari. Kritik, itu barang haram. Salah ngomong dikit? Yaudah, silakan “berwisata” ke penjara atau ke pengasingan. KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) juga bukan rahasia lagi. Keluarga pejabat dan kroni-kroni hidup makmur. Sementara rakyat cukup puas dengan sembako murah dan P4. Ketika krisis ekonomi Asia 1997 menghantam, ekonomi Indonesia remuk redam, Soeharto jatuh, dan kita semua mulai mikir, “Lah, selama ini kita hidup di atas utang?”

Lalu datanglah era Reformasi. Indonesia ibarat anak kos yang baru lepas dari kontrol orang tua. Bebas? Iya. Tapi sering kelupaan bayar listrik dan suka bingung mau makan apa. Demokrasi menjadi nafas baru. Pemilu jadi pesta rakyat, semua orang bisa nyalonin diri, mulai dari profesor sampai seleb TikTok. Kebebasan berpendapat juga meningkat pesat. Kritik pada pemerintah jadi tren, meme politik jadi hiburan, dan yang bikin heboh, semuanya bisa dibagikan di media sosial. Desentralisasi juga jadi berkah. Daerah bisa mengatur sendiri, meskipun kadang berakhir jadi festival rebutan proyek. Tapi kebebasan ini datang dengan harga. Ketidakstabilan politik jadi rutinitas. Gonta-ganti kebijakan, menteri, revisi UU, kadang bikin bingung, “Ini negara mau dibawa ke mana, sih?” Korupsi juga tetap merajalela. Bahkan, menempati juara dua dunia. Katanya sudah reformasi, tapi kok yang korupsi makin kreatif aja? Masalah ketimpangan ekonomi juga nggak kunjung selesai. Daerah kaya makin kaya, daerah miskin makin terpinggirkan. Tapi tenang, selisihnya akan ditutupi dengan bansos menjelang pemilu.

Nah, sekarang kita kembali ke UU TNI yang baru disahkan. Katanya sih ini untuk memperkuat ketahanan nasional dan menegakkan stabilitas politik. Tapi kok kesannya kayak soft opening menuju Orde Baru jilid dua, ya? Bayangkan, wak! Militer berwenang masuk ke ranah sipil, bisa menduduki jabatan di kementerian, lembaga, bahkan BUMN. Jadi kalau nanti kamu daftar kerja di BUMN dan yang wawancara pakai seragam loreng-loreng, ya nggak usah kaget. Ini, misalnya saja. Kalau kamu merasa UU ini berpotensi mengikis kebebasan sipil? Jangan khawatir. Toh kita pernah hidup di Orde Baru dan masih selamat sampai sekarang, kan? Mungkin ini hanya bagian dari “proses pendewasaan bangsa.” Atau bisa jadi, kita memang sedang menjalani fase toxic relationship dengan sejarah sendiri.

Selamat datang di Orde Baru 2.0! Versi lebih modern, lebih demokratis (katanya), tapi dengan sentuhan militeristik yang bikin nostalgia. Tetap tenang, tetap waspada, dan kalau ada yang terasa aneh… ya, selamat! Kamu sedang menyaksikan sejarah terulang secara real-time. (*)

#camanewak