Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Sepenggal Kisah SM yang Wafat di Gurun Hendak Masuk ke Mekah

June 9, 2025 17:35
IMG-20250609-WA0075

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar


HATIPENA.COM – Tulisan saya berjudul “Dosen Itu Tewas di Tengah Gurun Menuju Rumah Tuhan” telah dibaca 1,4 juta. Banyak bersimpati sampai menenetaskan air mata. Tak sedikit juga menyayangkan. “Dosen kok gunakan jaluar illegal.” Banyak komen negatif seperti itu. Ya, wes lah, namanya netizen. Kali ini saya mau menceritakan kisah di balik wafatnya SM alias Syukron Mahbub. Siapkan kopi tanpa gulanya, wak!

Syukron Mahbub bukan hanya seorang jemaah. Ia bukan sekadar angka dalam laporan media, bukan nama yang sekilas lewat di layar televisi. Ia adalah seorang dosen, seorang pendidik, pemegang kunci ilmu di Universitas Islam Madura (UIM). Ia adalah Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam, seorang cendekiawan yang mengabdikan hidupnya untuk menuntun generasi muda memahami hukum Tuhan, menata keluarga dalam cahaya syariat, dan menanamkan adab kepada anak bangsa.

Namun tubuh sang guru kini rebah di gurun. Dingin dan sunyi, terbaring dalam sunyi pasir Arab yang tak mengerti bahasa air mata. Ia tidak wafat di ranjang rumah sakit, tidak pula dilepas keluarga dengan tangis penuh doa. Ia wafat sebagai peziarah yang ditinggal taksi di tengah hamparan pasir, lalu berjalan menjemput maut dengan langkah yang dipenuhi iman dan peluh. Ia tidak sedang nekat. Ia hanya terlalu ingin sampai. Terlalu percaya bahwa Tuhan akan membuka jalan, meski tanpa izin resmi dari biro perjalanan.

Dosen Syukron Mahbub dikenal sebagai pribadi tenang, rendah hati, dengan suara yang lembut namun tegas. Setiap kata-katanya di ruang kuliah adalah petunjuk, tentang keadilan, tentang cinta, tentang keikhlasan. Kini, ia mengajar kita semua pelajaran yang paling getir, bahwa tak semua orang mampu menunaikan panggilan suci lewat pintu yang benar, karena pintu itu dijaga terlalu ketat oleh protokol, oleh uang, dan oleh sistem.

Ia tidak berangkat sendiri. Ia berangkat bersama 12 orang lain, saudara-saudara seiman yang berharap bisa menunaikan haji dengan segala cara. Visa mereka hanyalah visa ziarah multiple, bukan visa haji. Tapi mereka ingin menyelinap masuk, berharap bisa menunaikan rukun Islam kelima walau lewat lorong yang gelap. Empat orang ditangkap di awal. Termasuk pemilik travel, sang penggiring langkah ke tanah harapan yang kini ditangkap dan diinterogasi oleh otoritas Saudi. Ia telah mencetak janji-janji surgawi di atas tiket palsu. Ia mengirim Syukron bukan ke Ka’bah, tapi ke liang lahad.

Sembilan lainnya diusir ke Jeddah. Tapi Syukron tidak mundur. Bersama dua rekannya, ia kembali mencoba masuk ke Mekkah. Mereka menyewa taksi, taksi yang kemudian berhenti di tengah gurun, menurunkan mereka karena sang sopir takut ditangkap. Di situlah, guru kita, pembimbing kita, pendidik kita… berjalan. Dalam panas 47 derajat. Dalam pasir yang tak berpihak. Dalam tubuh yang haus dan kaki yang lelah. Akhirnya, dalam napas terakhirnya, ia berhenti. Meninggal dunia. Dalam diam. Dalam dehidrasi yang melumpuhkan.

Ia ditemukan oleh drone. Ya, bukan oleh muridnya, bukan oleh sahabatnya, tapi oleh drone. Mesin tak berperasaan yang menyisir langit untuk menemukan mereka yang dianggap tak sah berada di tanah suci.

Kini jasadnya dimakamkan di Mekkah. Di kota yang ia tuju dengan cinta dan perjuangan. Tapi tidak dalam kemenangan. Melainkan dalam kehilangan yang pilu.

Di Madura, di ruang kelas kosong tempat ia biasa mengajar, papan tulis masih bertuliskan materi terakhir yang tak sempat ia selesaikan. Meja kerjanya masih menyimpan catatan revisi skripsi mahasiswa. Hati kita, hancur. Karena kita tahu, yang wafat bukan orang biasa. Tapi seorang dosen. Seorang pembimbing umat. Seorang ayah ilmu. Yang hanya ingin menunaikan panggilan Tuhan, dan malah dipanggil pulang sebelum sempat sampai. (*)

#camanewak