Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar
HATIPENA.COM – Ukraina selama ini menjadi bulan-bulanan Rusia. Macam ayam sayur dibuatnya. Perang ibarat semut hitam melawan beruang merah. Siapa sangka, begitu diberi izin menyerang, Ukraina langsung membombardir negeri Putin. Tak tanggung-tanggung 40 pesawat pembom Rusia dihancurkan oleh serangan drone Ukraina. Menarik ya wak! Mari kita ungkap kehebatan prajurit Zalensky menyerang raksasa sambil seruput kopi tanpa gula.
Ketika dunia berharap pada perdamaian, Ukraina justru menghadiahkan Rusia pertunjukan sirkus maut berjudul Operasi Jaring Laba-Laba. Sebuah drama epik dengan 117 drone sebagai penari utama, dan 40 pesawat pembom strategis Rusia sebagai korban panggung yang terbakar dalam tarian terakhir mereka. Semua terjadi sehari sebelum perundingan damai digelar di Istanbul, Turki. Sehari. Bukan seminggu, bukan sebulan. Tapi sehari, seakan-akan Ukraina berkata, “Kami akan datang ke meja perundingan, tapi mohon maaf, kami harus membakar sebagian angkatan udara Anda dulu. Biar adil.”
Lokasi serangan bukan main-main. Pangkalan udara di Irkutsk, wilayah Rusia yang jaraknya sekitar 4.000 km dari Ukraina. Kalau pakai mobil, mungkin butuh seumur hidup, tiga SIM internasional, dan visa dari Dewa. Tapi drone-drone Ukraina? Terbang dengan elegan, tanpa lelah, tanpa jet lag, dan dengan satu misi, hancurkan segalanya yang punya baling-baling. Dan berhasil. Ukraina mengklaim telah menghanguskan Tu-95 dan Tu-22M3, dua pesawat legendaris Rusia, simbol kejantanan udara Moskow. Jika pesawat-pesawat itu adalah ksatria, maka kini mereka menjadi arang dalam reruntuhan.
Jumlahnya tak tanggung-tanggung. Empat puluh pesawat. Empat puluh! Itu bukan skala serangan biasa, itu sudah level Death Star dari Star Wars tapi dengan aksen Slavia. Sumber keamanan Ukraina bahkan menambahkan bumbu tambahan, 34% armada pembom strategis Rusia dilenyapkan. Bukan 3%, bukan 13%, tapi tiga puluh empat persen. Kalau ini ujian matematika, maka Rusia baru saja kehilangan sepertiga jawabannya sebelum waktu habis.
Kerugian ditaksir mencapai Rp 114 triliun. Bukan rupiah Zimbabwe, ini rupiah Indonesia yang sedang bangga punya IKN. Uang sebanyak itu bisa membangun ratusan stadion, menggaji jutaan buruh, atau menyewa Taylor Swift untuk konser selama lima tahun di Lapangan SSA Pontianak. Tapi Rusia kehilangan semua itu dalam satu malam, oleh benda-benda bersayap mungil dengan baterai lithium dan tekad baja.
Yang paling menarik dari semuanya, ini terjadi sebelum negosiasi damai. Sebelum! Bayangkan nuan mau ketemu mantan untuk berdamai, tapi sebelum bertemu, ikam kirim 117 peluru ke rumahnya. Apakah itu damai atau pembalasan dendam gaya barok? Perundingan Istanbul, yang seharusnya menjadi harapan baru, kini seperti pesta ulang tahun yang tamunya membawa bom.
Padahal sebelumnya, Rusia juga sempat unjuk gigi dengan mengirim 367 drone dan rudal ke Kyiv pada 24 Mei 2025. Ini bukan konflik, ini kompetisi kreativitas kehancuran. Rusia membunuh 12 orang, melukai 60 lainnya, termasuk tiga anak-anak, dan Ukraina menanggapinya dengan menghancurkan empat pangkalan udara sekaligus. Ini bukan perang biasa. Ini sinetron kejar tayang, dengan skrip yang ditulis oleh seniman mabuk geopolitik dan sutradara bernama Balas Dendam.
Gubernur Irkutsk, Igor Kobzev, tampak linglung saat mengonfirmasi bahwa ini pertama kalinya drone Ukraina berhasil menembus sejauh itu. Tentu saja linglung. Siapa yang menyangka bahwa drone bisa melewati ribuan kilometer seperti pengantar pizza internasional?
Di tengah semua ini, kita berbicara soal “upaya gencatan senjata.” Gencatan senjata, katanya. Tapi yang tampak adalah simfoni api, dentuman mesin, dan asap yang membubung seperti dupa raksasa untuk dewa-dewa perang.
Kalau ini perdamaian, maka dunia sudah gila. Tapi gila yang sangat terencana, sangat teknologis, dan sangat sarkastik. Selamat datang di era drone diplomacy, di mana senjata menjadi kalimat pembuka, dan negosiasi dilakukan sambil memadamkan api di landasan. (*)
#camanewak