Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Setiap Hari Ada Anak-anak Kawin di Bali

January 25, 2025 09:09
IMG-20250125-WA0038

Catatan Paradoks: Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Dalam dunia yang terus berkembang, angka sering kali menjadi saksi bisu dari sebuah ironi.

Di Bali, menurut data KPAD, terjadi 386 kasus perkawinan anak pada tahun 2024—angka yang hampir melampaui jumlah hari dalam setahun.

Artinya, hampir setiap hari ada seorang anak, usia 14 hingga 17 tahun, yang kawin di pulau yang indah ini.

Lebih menyedihkan lagi, angka ini meningkat dibandingkan tahun 2023 yang mencatat 335 kasus. Sebuah fenomena yang memukul telak wajah pendidikan, keluarga, dan masyarakat kita di pulau Dewata ini.

Anak-anak yang terjebak dalam perkawinan dini sejatinya adalah korban, bukan “pelaku”. Korban dari sistem yang gagal memberikan perlindungan, perhatian, dan pengawasan pada anak-anak kita.

Banyak kasus perkawinan anak yang berakar pada kehamilan di luar nikah, tetapi alasan itu hanyalah permukaan dari masalah yang jauh lebih dalam.

Siapa yang harus bertanggung jawab? Kita tak perlu menyalahkan siapa yang salah, yang jelas, tiga pilar pendidikan kita, yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat—tiga pilar pendidikan yang seharusnya menopang tumbuh kembang anak—menjadi bagian dari paradoks ini.

Keluarga: Dalam keluarga modern, kedua orang tua sering kali bekerja dari pagi hingga sore. Waktu untuk anak menjadi barang langka. Anak-anak dibiarkan pulang sekolah tanpa pengawasan, terjebak dalam ruang kosong yang menjadi ladang subur bagi pergaulan bebas. Masa pubertas, saat anak-anak penuh rasa ingin tahu, kekosongan ini adalah bencana yang menunggu waktu.

Sekolah: Anak-anak yang menikah dini kebanyakan masih berstatus pelajar SMP atau SMA. Sekolah, yang seharusnya menjadi tempat pembinaan moral dan intelektual, sering kali abai terhadap peran ini. Pendidikan formal yang selesai siang hari menyisakan waktu panjang bagi anak-anak untuk beraktivitas tanpa arah.

Masyarakat: Lingkungan tempat anak tumbuh juga memiliki peran besar. Ketika komunitasnya positif, anak-anak cenderung tumbuh dengan nilai-nilai yang baik. Namun, jika masyarakat tidak peduli atau malah memberikan pengaruh negatif, anak-anak dengan mudah tergelincir sebelum sempat mencapai kedewasaan.

Masalah ini mencerminkan paradoks dalam dunia pendidikan. Di satu sisi, sekolah dan keluarga menanamkan nilai-nilai moral, tetapi di sisi lain, mereka gagal memberikan pengawasan yang cukup pada anak-anak yang paling rentan.

Waktu kosong sepulang sekolah adalah celah besar yang sering kali dimanfaatkan oleh pengaruh buruk.

Agar dunia pendidikan tidak menjadi ironi, perlu ada langkah serius untuk memperpendek waktu kosong anak-anak tanpa pengawasan.

Salah satu solusi adalah memperpanjang waktu sekolah hingga sore hari, menyesuaikan dengan jam kerja orang tua. Dengan demikian: Anak-anak tetap berada di bawah pengawasan guru ketika masih di sekolah dan pulang di rumah langsung mendapatkan pengawasan orang tua pulang kerja. Tak ada ruang kosong dalam pengawasan masa rentan anal-anak kita.

Aktivitas di luar sekolah dapat diarahkan ke kegiatan ekstrakurikuler yang positif. Di rumah bisa beraktifitas normal karena kedua orang tuanya berada di sisinya.

Sebagaimana dinatas, risiko pergaulan bebas yang sering kali menjadi akar perkawinan dini dapat diminimalkan.

Perkawinan anak adalah ironi yang harus kita lawan bersama. Dunia pendidikan, keluarga, dan masyarakat harus bersinergi untuk melindungi anak-anak dari bahaya yang mengintai mereka.

Pendidikan harus kembali ke esensinya—bukan hanya mencetak manusia cerdas, tetapi juga manusia yang tangguh secara moral dan emosional.

Paradoks ini adalah alarm yang seharusnya membangunkan kita. Jika kita gagal melindungi mereka, maka kita bukan hanya kehilangan masa depan anak-anak, tetapi juga kehilangan harapan untuk menciptakan dunia yang lebih baik. (*)

Denpasar, 25 Januari 2025

Berita Terkait

Berita Terbaru