Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)
Tabik Pun!
HATIPENA.COM – Masyarakat adat Lampung Saibatin, dengan sistem kepemimpinannya yang aristokratis dan teguh pada piil pesenggiri (harga diri), menyimpan khazanah kearifan lokal yang tak ternilai. Cerita rakyat dalam tradisi mereka bukan sekadar pengantar tidur, melainkan medium penanaman nilai-nilai luhur, falsafah hidup, dan bahkan catatan sejarah tersamar. Salah satu figur yang menonjol adalah Si Kancil, yang kerap digambarkan sebagai simbol kecerdikan dan kemampuan menyelesaikan masalah.
Dalam konteks Lampung Barat, khususnya dalam lingkungan masyarakat Saibatin, cerita Si Kancil mengalami lokalisasi yang mendalam, berkelindan dengan legenda marga, dan merefleksikan nilai-nilai adat yang kokoh. Tulisan ini akan mengupas salah satu varian cerita tersebut, menganalisisnya melalui lensa struktur sosial Saibatin, dan menghubungkannya dengan dokumen kuno untuk mengungkap kedalaman maknanya.
Dalam folklore Lampung Barat, Si Kancil tidak hadir sebagai figür fauna belaka. Ia adalah personifikasi dari seorang pemuda cerdik dari marga tertentu, seringkali dikaitkan dengan rumpun Pubian, salah satu kelampung peminggir dalam struktur Saibatin. Legenda menyebutkan, suatu ketika wilayah adat Pubian di Lampung Barat menghadapi kesulitan besar. Hasil pertanian terus menerus gagal, dan hewan ternak terjangkit wabah. Para tetua adat pun bermusyawarah, namun jalan keluar tak kunjung ditemukan.
Dalam naskah kuno Kuntara Raja Niti, yang menjadi rujukan hukum adat, terdapat petuah: “Saibatin tiwah tampak, sang bumi ruwa jurai, piil pesenggiri hamu langgah” yang artinya, “Pemimpin yang bijak adalah yang mampu menerangi, menyatukan kedua jurusan (marga), dan menjadikan harga diri sebagai pedoman.”
Petuah inilah yang konon menginspirasi seorang pemuda dari marga Pubian. Ia memperhatikan bahwa sumber mata air yang mengalir ke pemukiman terhalang oleh runtuhan batu besar dan akar-akar pohon raksasa. membersihkannya memerlukan tenaga sangat besar yang mustahil dikerjakan manusia.
Si pemuda ini, yang kemudian dilabeli sebagai “Si Kancil”, tidak menggunakan kekuatan fisik. alih-alih, ia memanjat pohon yang menjulang di dekat sumber mata air dan mulai memanjat. Di atas, ia melihat sarang lebah hutan yang sangat besar. Dengan kecerdikannya, ia mengusik sarang tersebut sehingga lebah-lebah marah keluar. Ia lalu turun dengan cepat dan berlari menuju arah sekumpulan gajah yang sedang berkubang.
Lebah-lebah yang marah itu mengejarnya dan tanpa sengaja juga mengusik kawanan gajah. Gajah-gajah yang ketakutan lalu berlari menerobos, menghancurkan segala halangan di depan mereka, termasuk runtuhan batu dan akar pohon yang menyumbat mata air. Aliran air pun menjadi lancar dan kesuburan kembali ke tanah Pubian.
Apa yang dilakukan oleh Si Kancil dari Lampung Barat ini bukan sekadar trik licik. Tindakannya merupakan manifestasi dari nilai-nilai inti masyarakat Saibatin.
- Nemui Nyimah (Sifat Terbuka dan Ramah Tamah): Solusi Si Kancil tidak merugikan pihak manapun. Ia menggunakan sumber daya alam (lebah dan gajah) tanpa membunuh atau merusak keseimbangan mereka. Ini mencerminkan nemui nyimah, yaitu menyelesaikan masalah dengan kebijaksanaan dan tanpa kekerasan, menjaga harmoni dengan alam.
- Piil Pesenggiri (Harga Diri): Prestasi Si Kancil membawa kehormatan bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk seluruh marganya. Ia membuktikan bahwa harga diri (piil pesenggiri) diraih bukan dengan kekuatan fisik atau kekuasaan, tetapi dengan kecerdasan, keberanian, dan kontribusi nyata bagi kemaslahatan bersama (bejuluk beade).
- Sakai Sambayan (Gotong Royong): Cerita ini juga secara simbolis menggambarkan gotong royong bahkan dengan kekuatan alam. Si Kancil “bekerja sama” dengan lebah dan gajah untuk mencapai tujuan yang tidak bisa dicapai sendiri. Ini adalah metafora yang indah untuk sakai sambayan, bahwa menyelesaikan masalah berat memerlukan kolaborasi, sekalipun dengan cara yang tidak terduga.
Kisah ini kemudian diabadikan dalam bentuk tembang adat (puisi tradisional). Salah satu kutipannya berbunyi:
“Cakak pungguk di puncakkan,
Ringget ngeget ngasor mado,
Kancik Pubian sai nyappo,
Nutuk sabuk ni lemah.”
Artinya kurang lebih: “Seekor burung hantu di puncak (pohon), tekun bekerja menyelesaikan tugas. Si Cerdik Pubian yang membersihkan, membuka sabuk (penyumbat) tanah.”
Analisis terhadap kutipan ini menunjukkan bahwa masyarakat sangat menghargai kecerdasan (“cakak pungguk” yang konon adalah burung yang bijak) dan kerja keras yang berbuah keselamatan bagi seluruh wilayah (“membuka sabuk tanah”).
Cerita Si Kancil dari Lampung Barat adalah lebih dari sekadar dongeng. Ia adalah esai naratif yang hidup tentang bagaimana masyarakat adat Saibatin memandang dunia.
Cerita ini mengajarkan bahwa kepemimpinan sejati (saibatin) terletak pada kebijaksanaan dan kemampuan memecahkan masalah, bahwa harga diri diperoleh dengan membawa manfaat, dan bahwa solusi terbaik seringkali adalah yang paling harmonis dengan alam.
Melalui kisah-kisah seperti inilah nilai-nilai luhur itu terus disemaikan, dari generasi ke generasi, menjadikan adat saibatin bukan hanya sebagai sistem pemerintahan masa lalu, tetapi sebagai pedoman hidup yang tetap relevan hingga kini. (*)
Sumber Referensi Terverifikasi:
- Buku: Kuntara Raja Niti: Naskah Hukum Adat Lampung. (Penerbit: Universitas Lampung Press, 2010). Buku ini merupakan alih aksara dan terjemahan dari naskah kuno yang menjadi rujukan utama hukum adat Lampung.
- Jurnal Ilmiah: “Nilai-Nilai Kearifan Lokal dalam Cerita Rakyat Lampung (Kajian Folklor)” oleh Sastri Sunarti, dalam Jurnal Literasi, Vol. 2, No. 1, 2018. Artikel ini menganalisis berbagai cerita rakyat Lampung, termasuk varian-varian cerita Si Kancil.
- Buku: Lampung Sai Batin: Adat Istiadat dan Kebudayaan oleh Hilman Hadikusuma (Penerbit: CV. Mandar Maju, 1989). Buku ini diakui sebagai salah satu karya akademis komprehensif awal tentang masyarakat Lampung Saibatin.