Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Siapa yang Membodohi Siapa?

April 24, 2025 07:53
IMG-20250424-WA0012

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Genit juga untuk ikut memberikan komentar akan tingkah polah badut-badut politik yang masih saja mengaku-ngaku sebagai senator di negeri ini.

Di gedung megah itu, sejatinya dia tak tahu diri mengaku-ngaku sebagai senator, padahal hanya wakil daerah dengan kekuasaan yang dipangkas, peran yang dipereteli, dan fungsi yang nyaris simbolik.

Mereka berdiri di depan kamera, bersuara lantang, menggenggam mimbar, lalu menyebut diri dengan gelar yang bukan milik mereka.

Ini bukan sekadar kesalahan. Ini penyesatan. Ini pembodohan!

Lebih dari itu, ini pengkhianatan terhadap akal sehat rakyat. Karena rakyat berhak tahu siapa yang bekerja dan siapa yang sekadar berpura-pura bekerja.

Anggota DPD RI—dalam kerangka hukum dan tata negara Indonesia—bukanlah senator dan tidak akan pernah jadi senator.

Ia tidak memiliki kekuasaan legislasi. Tidak memiliki hak menyusun anggaran. Tidak memiliki kekuatan mengawasi jalannya pemerintahan sebagaimana senator dalam sistem presidensial negara lain.

Lalu mengapa gelar itu disematkan sendiri? Apa motif di balik topeng itu? Gengsi? Ambisi? Atau sekadar ingin terlihat hebat di hadapan kamera?

Kita hidup di zaman di mana kata bisa membunuh logika. Dan di tangan mereka yang seharusnya mencerahkan rakyat yang diwakili, justru sengaja mengaburkan.

Masyarakat dipaksa menelan kebohongan seolah itu kebenaran. Ini bukan kebodohan yang alami, ini kebodohan yang disengaja—dan itu jauh lebih berbahaya. Ini manipulasi.

Mereka lupa, bahwa dulu, ketika mereka dinamakan sebagai utusan daerah/golongan duduk di MPR, benar-benar punya kuasa. Bisa memilih presiden. Bisa menetapkan arah pembangunan nasional yang disebut GBHN. Tapi setelah amandemen UUD 1945, semua itu hilang.

DPD RI hari ini bukan lembaga penentu, bukan pemegang palu keputusan. Maka menyebut diri senator adalah bentuk penipuan intelektual. Sebuah pencitraan murahan untuk menutupi kehampaan wewenang.

Cukup sudah rakyat dibodohi. Cukup sudah demokrasi dikotori oleh simbol-simbol kosong.

Anggota DPD RI itu wakil daerah. Titik. Bukan senator. Titik. Jangan tambah tanda tanya. Jangan coba-coba membalikkan fakta agar dihormati.

Kalau masih ngotot mengaku senator, mungkin sudah waktunya kita tanya balik: siapa yang sebenarnya perlu dicerdaskan? Rakyat atau wakilnya? (*)

Galungan, 23 April 2025