Dr. Wendy Melfa
Dosen UBL, Penggiat Ruang Demokrasi (RuDem )
HATIPENA.COM – Momentum Hari Raya Idul Fitri atau biasa di Indonesia disebut Lebaran adalah momentum yang biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat muslim yang merayakan lebaran untuk saling bersilaturahim, saling mengunjungi, saling memaafkan antara keluarga, kerabat, kolega, handai tolan, teman, dan relasi lainnya.
Silaturahim Lebaran
Ini merupakan tradisi sosial biasa bagi penduduk muslim Indonesia yang selalu mewarnai suasana Lebaran di tanah air, begitulah berlangsung turun menurun dari tahun ketahun dari setiap Lebaran.
Adalah hal yang berbeda, manakala tradisi biasa penduduk muslim Indonesia saat di hari Lebaran itu dilakukan oleh para elite politik, beberapa Menteri Kabinet Merah Putihnya Presiden Prabowo Subianto datang bersilaturahim, berkunjung, sowan, berbincang, berlebaran ke kediaman Presiden RI ke-7 Joko Widodo di Solo.
Silaturahim Lebaran itu juga ditunggui serta diliput sejumlah media dari luar kediaman sang Presiden ke-7. Sontak saja silaturahim sejumlah Menteri Kabinetnya Presiden Prabowo yang beberapa di antaranya pernah menjadi Menteri Kabinetnya Joko Widodo pada saat menjadi Presiden sebelumnya disoroti dan menjadi perbincangan “politik” Tanah Air.
Dari pengamat politik, politisi, bahkan Presiden RI ke 6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ikut memberikan pesan (politik) yang disampaikan oleh Waketum Partai Demokrat Dede Yusuf, Demokrat ungkap pesan SBY, “Tidak Boleh Ada Matahari Kembar” (21/4).
Kendati demikian, Dede enggan berkomentar banyak terkait isu matahari kembar yang muncul merupakan imbas sejumlah Menteri Kabinet Merah Putih menyambangi kediaman Presiden ke-7 Jokowi selama Idul Fitri 2025.
Lebih lanjut Dede mengatakan: “tetapi sekali lagi saya hanya menyadur dari pernyataan Bapak SBY. Saat ini di pemerintahan ya hanya Bapak, Pak Prabowo,” ujar dia (CNN Indonesia, 21/4).
Lebih menarik untuk dijadikan obrolan politik Tanah Air, sowan dan silaturahimnya para Menteri Kabinet Prabowo kekediaman Jokowi di Solo tersebut.
Diawali oleh sowannya Bahlil Lahadalia, Menteri ESDM Kabinet Prabowo yang juga Ketua Umum Partai Golkar, dan juga menjadi Menteri Kabinetnya Jokowi ketika menjabat Presiden ke-7.
Hanya satu hari setelah pertemuan dan silaturahim antara Prabowo Subianto (Presiden ke 8) dengan Megawati Soekarno Putri (Presiden ke 5) di Jakarta, maka perbincangan seputar silaturahim (politik) Lebaran makin hangat dengan analisis politik, dan ilmu cucoklogi.
Ditambah lagi langkah sowan dan silaturahmi Lebaran itu juga diikuti sejumlah Menteri Kabinet Prabowo lainnya.
Apalagi ini merupakan ‘role model’ sowan dan silaturahim yang pertama dalam jejak perpolitikan Nasional di mana sejumlah Menteri Kabinet Pemerintahan Presiden yang sedang berlangsung kekuasaannya, melakukan sowan dan mengunjungi kediaman Presiden era sebelumnya secara terbuka, meskipun hal itu dilakukan dalam rangka silaturahmi Lebaran.
Fatsun yang Berawal dari Asbab
Sowan dan silaturahim (politik) lebaran ini jika pun kemudian akan menjadi role model perpolitikan Indonesia, tentu tidak terlepas dari asbab bangunan politik yang terbangun, pertama: dari perspektif sejarah politik Tanah Air kontemporer dapat diikuti bahwa bangunan perpolitikan Indonesia dibangun atas dasar jalan tengah dan kerja sama politik.
Politik jalan tengah digunakan sebagai kekuatan diplomasi yang berujung pada sikap politik, seperti ketika Indonesia dan beberapa Negara Asia ketika menghadapi perang dingin antara blok Barat dan Timur, Indonesia melalui Konverensi Asia Afrika mengambil sikap kompromi dengan membentuk Negara-Negara Nonblok.
Begitu juga idea dasar lahirnya penamaan ideologi bangsa Indonesia, ditengah sengitnya perseteruan ideologi bangsa-bangsa dunia, antara ideologi Liberalis, Sosialis, Komunis, Kapiltalis, Fasisme, Nasionalisme, maka Indonesia menampakkan idiologinya tersendiri yaitu dengan pendekatan theory Prismatik (Fred W. Riggs) mengidentifikasi Idiologi bangsa Indonesia yang disebut sebagai Idiologi Pancasila.
Ini merupakan pola kehidupan khas bangsa Indonesia, dan masih banyak hal lain lagi yang dapat dijadikan contoh bahwa bangunan politik kita itu terbangun dari prinsip jalan tengah dan kompromi.
Kedua, dari perspektif pendekatan penyelenggaraan kekuasaan, meskipun sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem Presidential, namun bangunan demokrasi Indonesia adalah demokrasi multi Partai.
Atas nama kerja sama politik, meskipun terjadi kompetisi dukungan Parpol pada saat Pilpres, pemenang Pilpres tetap “mengajak” Parpol non pendukung saat Pilpres untuk bergabung di Kabinetnya, hal ini juga memungkinkan terbangunnya koalisi politik untuk kestabilan jalannya pemerintahan (eksekutif) dan dukungan dari parlemen (legislatif).
Begitulah bangunan politik Indonesia yang mempunyai ciri dan kekhasan tersendiri.
Berkaca pada Pilpres 2024 yang lalu, tidak bisa dipungkiri bahwa calon Presiden Prabowo Subianto yang ketika itu juga sedang menjabat sebagai Menteri Pertahanan Kabinetnya Presiden Jokowi, langkah politik dan dukungan atas pencalonannya sebagai Capres cukup mendapatkan support dan bahwa endor’s politik dari Jokowi, dan ketika terpilih sebagai Presiden, sejumlah ‘orang Jokowi’ (asumsi publik) yang kualified dan menjadi Menteri di Kabinet Jokowi, ‘dipilih’ Presiden Prabowo Subianto untuk masuk dalam jajaran Menteri kabinet Merah Putih.
Mereka inilah yang beberapa di antaranya sowan dan silaturahim kekediaman Jokowi ketika Lebaran, maka langkah sowan dan silaturahim (politik) Lebaran itu dinilai wajar, dan juga mengikuti fatsun politik-nya Presiden Prabowo Subianto yang juga memberi contoh membangun silaturahim politik kepada tokoh-tokoh politik Tanah Air, termasuk berkunjung ke Presiden ke 5, Megawati Soekarno Putri.
Political dan Legal Standing
Konstitusi UUD 1945 tidak mengenal dan juga tidak memberi peluang hadirnya “matahari kembar” dalam penyelenggaraan pemerintahan kita. Indonesia adalah Negara yang berbentuk Republik dengan pembagian kekuasaan pokok Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif, dengan sistem pemerintahan Presidential.
Berbeda dengan bentuk Negara Monarchi dimana terdapat Raja dan Perdana Menteri, berbeda dengan sistem pemerintahan yang Parlementer di mana kekuasaan Parlemen relatif cukup dominan.
Menurut hukum ketatanegaraan dan sistem pemerintahan yang berlaku di Indonesia, maka kekuasaan Pemerintahan dipegang dan dikendalikan oleh Presiden yang saat ini secara political dan legal standing-nya ada pada Presiden Prabowo Subianto.
Kapatuhan dan loyalitas dalam arti visi dan pandangan menjalankan pemerintahan para Menteri Kabinetnya hanya tunggal, kepada Presiden Indonesia yang sedang menjalankan pemerintahan.
Diksi “matahari kembar “ yang ‘ditawarkan’ oleh SBY, Presiden ke-6 Indonesia, sosok yang cukup diperhitungkan dalam kancah perpolitikan Nasional kepada publik untuk konsumsi diskusi politik bukankah sekadar diskursus di ruang hampa, sangat kuat kemungkinannya terdapat muatan yang dalam tata bahasa Gen-Z sering diungkapkan, ‘ada dagingnya’ yang tentu saja akan tercerna seiring dengan berjalannya waktu.
Dari fenomena ‘matahari kembar’ dan fenomena sowan dan silaturahim (politik) Lebaran kali ini. Setidaknya kita bisa menangkap ada tiga tokoh politik Nasional yang terlibat di dalamnya: SBY Presiden ke-6, Jokowi Presiden ke-7, dan Prabowo Presiden ke-8.
Akankah ini sebagai indikasi tiga kekuatan politik Indonesia yang tidak tertutup kemungkinan sedang memainkan harmoni kompetisi sehat meneropong Pemilu 2029, biar waktu yang menjelaskan berikutnya.(*)