Ilustrasi : Meta AI/ Rizal Pandiya Sebuah Kontemplasi Saraswati; Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Hari Raya Saraswati merupakan salah satu rainan (hari suci) penting dalam tradisi Hindu Bali, yang dirayakan setiap 210 hari sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan.
Hari suci Saraswati jatuh pada Saniscara Umanis wuku Watugunung, yang merupakan puncak atau akhir dari Wariga Bali. Karena itulah, Sinta mulainya “hidup baru” versi wariga Bali.
Jika kita berhitung dengan siklus wuku, Saraswati yang terjadi pada puncak Watugunung memberikan makna, bahwa Tuhan Brahma melalui saktinya Dewi Saraswati memberikan bekal pada manusia untuk mengarungi rimba kehidupan ini dengan ilmu pengetahuan. Mulai dari Sinta, Landip, Ukir, kulantir, Tolu, Gumbreg dan seterusnya hingga Watugunung, untuk kembali lagi ke Sinta.
Bekal Dewa Brahma lewat saktinya Dewi Saraswati, berupa ilmu pengetahuan dalam mengarungi kehidupan ini, bukan hanya sekadar untuk kepentingan duniawi, tetapi juga untuk memahami dharma dan kebenaran sejati.
Setelah hari raya Saraswati, pada Redite Paing Wuku Sinta, disebutlah sebagai Banyu Pinaruh yang melambangkan pembersihan diri, baik secara fisik maupun spiritual, agar ilmu yang diperoleh dapat dimanfaatkan dengan baik.
Siklus ini berlanjut pada Some Ribek (Soma Pon Sinta) yang mengajarkan tentang pentingnya keberlimpahan dan kesejahteraan yang diperoleh dari bekal ilmu pengetahuan itu.
Selanjutnya, Sabuk Mas (Anggara Wage Sinta), Melambangkan kemakmuran dan materi sebagai alat dalam kehidupan. Dan, Pagerwesi (Buda Kliwon Sinta) → Melambangkan perlindungan terhadap ilmu dan kebijaksanaan. Makna Pagerwesi: Memagari Ilmu dengan Kebijaksanaan itu sendiri karena ilmu tersebut bebas nilai.
Pagerwesi menjadi rainan yang sangat penting karena ilmu yang telah diperoleh harus dijaga agar tetap berada dalam jalur dharma. Sebab, jika digunakan untuk kebaikan, ilmu menjadi alat untuk kemajuan dan kesejahteraan. Namun, jika sebaliknya, digunakan untuk menipu atau merusak, maka ilmu justru menjadi sumber adharma. Oleh karena itu, ilmu perlu “dipagari” dengan kebijaksanaan dan moralitas.
Setelah lolos.melalui proses itu, tibalah saatnya pada Tumpek Landep (Saniscara Kliwon Wuku Landep), ilmu pengetahuan itu akan terlihat ketajamannya. Lande secara filosofis bermakna tajam berkat diasah terus menerus oleh kebijaksanaan ilmu pengetahuan itu sendiri. Ilmu yang telah berada di puncak dengan melahirkan berbagai produk berwujud pisau, senjata, mobil, pesawat dan lainnya.
Karena itulah, pada saat tumpek Landep rasa syukur kepada pencipta dilakukan dengan upacara penyucian terhadap semua produk ilmu pengetahuan itu; keris, tombak, mobil, motor dan sejenisnya. Saat itulah semua dibantenin.
Setelah menguasai ilmu pengetahuan, piawai dalam memegang dan menggunakan ilmu serta teknologi, dengan senjata-senjata yang telah disucikan, tibalah saatnya untuk “berperang” dalam kehidupan ini.
Perang yang dimaksud adalah upaya manusia mencari eksistensi dalam kehidupan ini, untuk bisa eksis, untuk bisa menuju tujuan hidup, maka diperangi adalah adharma itu sendiri, adharma pada dirinya juga di luar dirinya.
Dalam siklus Wariga Bali perang dharma melawan adharma diwujudkan pada hari raya Galungan yang merupakan simbol kemenangan dharma melawan adharma.
Sepuluh hari kemudian hari raya Kuningan, sebagai momentum penghormatan kepada leluhur yang telah menjadi pahlawan dalam mempertahankan dan memenangkan dharma dalam keluarga masing-masing.
Siklus ini terus berputar, dimulai kembali dari Saraswati di puncak Watugunung hingga kembali ke Redite Paing Sinta sebagai Banyu Pinaruh.
Ini menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan bukanlah sesuatu yang statis, tetapi selalu berkembang, diuji, dipagari dengan kebijaksanaan, diasah hingga tajam, dan akhirnya digunakan dalam perjuangan melawan adharma.
Melalui kontemplasi ini, kita diajak untuk tidak hanya merayakan Hari Saraswati sebagai ritual semata, tetapi juga merenungkan bagaimana ilmu yang kita peroleh digunakan dalam kehidupan untuk melawan adharma.
Apakah kita telah menjaga ilmu dengan baik? Apakah ilmu itu kita gunakan untuk kebaikan atau justru membawa kita ke jalan adharma?
Pertanyaan ini menjadi refleksi dan kontenplasi dalam siklus kehidupan yang terus berulang.
Selamat Hari Pers Nasional buat teman2 penggiat jurnalistik…….(*)
Denpasar, 9 Februari 2025