Oleh: Hamdan eSA
(Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Unasman)
HATIPENA.COM – Dalam suatu malam bulan Ramadan, di sebuah ruang keluarga yang begitu hangat, ayah, ibu dan anak sedang menikmati makan ringan sambil menonton TV. Karena dalam suasana Ramadhan, televisi juga menyesuaikan program acara dengan suasana tersebut. Dan tentunya juga ikut disesuaikan dengan iklan layanan yang biasa ditampilkan dalam durasi jeda yang disiapkan.
Anaknya yang bungsu, yang Ramadan lalu baru berhasil melaksanakan 17 hari puasa full sehari, bertanya kepada ibunya sambil menunjuk ke layar televisi:
“Bu, kalau kita nggak minum sirup waktu buka puasa, puasanya tetap dapat pahala nggak?”
Mendengar jawaban itu, Ibunya terkekeh, lalu menjawab, “Ya tentu saja, Nak. Puasa itu tentang menahan diri, bukan soal apa yang kita minum”.
Anak itu mengernyitkan dahi, tampak bingung. Di layar televisi, sebuah iklan menampilkan keluarga bahagia berbusana muslim yang berkumpul di meja makan, dengan gelas-gelas berisi sirup warna-warni berkilauan di bawah cahaya lampu.
Sang anak dengan kemampuan kognisinya menangkap pesan bahwa; tanpa sirup, buka puasa menjadi kurang sempurna, dan ibadahnya berarti kurang pahala dan kurang sempurna pula.
Kejadian kecil ini mungkin terdengar sepele, tetapi sesungguhnya menggambarkan sesuatu yang lebih besar: bagaimana industri dan media mengonstruksi kondisi dan menggiring cara kita memaknai Ramadan.
Ramadan kini telah datang lagi, berbahagialah mereka yang sempat bertemunya. Ia tetap datang dengan tujuan yang sama: penyucian diri dan derajat taqwa. Ia bukan sekadar ritual menahan lapar dan dahaga, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang mengajarkan pengendalian diri, empati, dan kesederhanaan. Di bulan ini, umat Muslim diajak untuk menekan hawa nafsu, menata ulang hubungan dengan Tuhan, dan meningkatkan kepedulian terhadap sesama.
Sejak masa Nabi Muhammad, Ramadan telah menjadi bulan di mana manusia diajak kembali ke fitrahnya. Kesederhanaan menjadi inti dari ibadah: makan sekadarnya saat sahur dan berbuka, memperbanyak doa, serta menjauh dari gemerlap dunia yang melalaikan. Ramadan adalah momentum untuk merasakan apa yang dirasakan kaum papa, agar lahir empati dan kesadaran sosial yang lebih kuat.
Di era keberlimpahan informasi ini, makna kesederhanaan makin abu-abu. Ramadan yang sejatinya menjadi ajang refleksi, kini justru terkepung dengan budaya konsumtif. Malam-malam tidak hanya diisi dengan doa, kini diramaikan oleh aneka rayuan belanja dan diskon besar-besaran. Aneka produk yang begitu leluasa menebarkan pesona, membidik dan menggetarkan hasrat yang mestinya dikendalikan.
Meja makan yang dahulu cukup dengan kurma dan air putih, atau segelas teh dan beberapa biji penganan rumahan, kini dijejali berbagai hidangan mewah. Bahkan, keberkahan Ramadan pun menjadi target komodifikasi, dari paket umrah murah hingga tren berbuka di restoran mahal. Ustaz dan da’i sebagai “brand ambassador” produk tertentu. Sebaliknya, selebriti diajukan oleh media sebagai referensi praktik berpuasa yang baik. Apakah itu salah? Tentu tidak!
Namun, di tengah hiruk-pikuk kapitalisasi Ramadan itu, kita perlu bertanya: masihkah kita menghayati esensi kesederhanaan yang diajarkan bulan suci ini? Ataukah Ramadan kini telah berubah menjadi sekadar festival konsumsi, di mana ibadah pun memiliki harga?
Di tengah gempuran kapitalisme yang menjadikan Ramadan sebagai ajang konsumsi, masyarakat perlu mulai menyadari jebakan yang diciptakan oleh industri dan media. Kesadaran ini tidak hanya tentang bagaimana kita membelanjakan uang, tetapi juga bagaimana kita memaknai ibadah.
Apakah kita berbuka dengan hidangan mewah karena memang membutuhkan, atau sekadar mengikuti tren? Apakah membeli baju baru setiap tahun adalah keharusan, atau hanya dorongan dari iklan yang menggoda? Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya menjadi refleksi bagi setiap individu agar tidak terjebak dalam pola konsumtif yang berulang setiap Ramadan.
Tanggung jawab untuk melawan kapitalisasi Ramadan tidak hanya berada pada individu. Negara juga memiliki peran penting dalam mengatur keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan nilai-nilai keagamaan. Regulasi terhadap iklan yang mengeksploitasi sentimen religius, pengendalian harga bahan pokok agar tetap terjangkau bagi semua lapisan masyarakat, hingga kebijakan yang mendorong gaya hidup lebih sederhana selama bulan suci adalah langkah-langkah yang bisa dilakukan.
Lebih dari itu, kembalinya masyarakat kepada esensi Ramadan yang sejati membutuhkan perubahan paradigma. Ramadhan seharusnya bukan tentang seberapa banyak yang bisa dikonsumsi, melainkan seberapa banyak yang bisa dikendalikan.
Kesederhanaan bukan berarti kekurangan, tetapi jalan menuju pemurnian diri. Spiritualitas bukanlah komoditas yang bisa diperjualbelikan, melainkan sesuatu yang harus ditemukan dalam pengendalian diri, kepedulian terhadap sesama, dan ketulusan dalam beribadah.
Mungkinkah kita kembali ke Ramadan yang lebih sederhana? Jawabannya bergantung pada sejauh mana kita berani melawan arus konsumtif yang telah mengakar. Sebab, pada akhirnya, Ramadhan bukan tentang seberapa banyak yang kita beli, tetapi tentang bagaimana kita menemukan makna yang lebih dalam di baliknya. (*)
Wallahu A’lam
Banga, 1 Maret 2025