Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Strategi Gaib, Kopi Pahit, dan Setelan Pabrik

February 17, 2025 10:42
IMG-20250217-WA0041

Foto : Dok. Pribadi
Penulis : Rosadi Jamani *)

HATIPENA.COM – Di sebuah warkop kecil di Jalan Nusa Indah 2 Pontianak, aroma kopi hitam bercampur dengan harapan yang sudah basi. Wak Dalek dan Wan Dolah duduk di sudut, seperti dua veteran perang yang masih saja membahas strategi meski tahu pasukan mereka selalu kalah.

Di depan mereka, dua cangkir kopi hitam mengepul, hitam seperti masa depan sepak bola nasional. Di sampingnya, roti cane Bang Yasin yang renyah di luar, lembek di dalam, mirip mental pemain Timnas di laga internasional.

“Wak, kau tahu tak? Aku dengar Indra Syafri masih menyembunyikan strateginya,” kata Wan Dolah, menggulung roti cane seperti seorang jenderal yang menggulung peta perang.

Wak Dalek menghela napas panjang, seperti suporter yang lelah teriak “Garuda di Dadaku” hanya untuk melihat Garuda dipatuk lawan.

“Wan, kau pikir ini strategi bola atau sandi perang dunia? Dirahasiakan sampai kita sendiri lupa apa yang dirahasiakan,” keluhnya.

Wan Dolah tertawa kecil, sambil menyesap kopi yang pahitnya lebih tajam dari kritik netizen.

“Kau tengok itu komentator TV, Wak. Masih coba membedah taktik padahal yang dia bedah cuma penderitaan,” katanya, menunjuk layar TV di warkop yang menayangkan siaran ulang kekalahan Timnas.

Di layar, wajah para pemain tampak lesu. Tidak ada King Indo, tidak ada euforia, hanya sepi seperti stadion setelah hujan badai.

“Kau ingat dulu waktu Timnas masih dipegang STY? Menang pun masih dikritik Bung Towel dan Coach Justin,” ujar Wak Dalek.

“Ya, dulu mereka cerewet macam panci gosong. Sekarang? Diam seribu bahasa. Mungkin strategi rahasia Indra Syafri sudah menghipnotis mereka,” jawab Wan Dolah.

Mereka kembali menyeruput kopi. Pahit. Tapi dibanding pahitnya harapan yang selalu dikhianati, kopi ini masih bisa diterima.

Di luar, langit Pontianak mulai diselimuti kabut, tanda kemarau tiba. Seperti firasat, bakal kemarau gelar dan tropi.

“Kau tahu, Wan? Aku dengar lagu Padamu Negeri sudah jarang dinyanyikan suporter,” kata Wak Dalek.

“Tentu saja, Dalek. Kalau tiap kali nyanyi lagu itu kita tetap kalah, ya orang-orang bakal mulai nyanyi Gugur Bunga saja sekalian,” balas Wan Dolah, menatap roti canenya yang tinggal separuh, seperti sisa-sisa harapan suporter yang terus dipreteli kekalahan.

Hening sejenak. Suara motor yang lalu-lalang di luar terdengar lebih berisik dibanding stadion yang sekarang mulai sepi penonton.

“Wak, sepak bola kita ini macam barang elektronik murah. Baru dipakai sebentar, sudah kembali ke setelan pabrik,” gumam Wan Dolah.

“Itu pun kalau pabriknya benar. Kalau tidak, ya kita ini bukan setelan pabrik, tapi setelan modal nekat,” sahut Wak Dalek.

Tawa mereka pecah. Tawa yang tidak benar-benar bahagia.

Di layar TV, masih ada pembahasan tentang Timnas. Masih ada analisis, masih ada teori, masih ada optimisme palsu yang dijual murah.

Wak Dalek menatap Wan Dolah, lalu berkata, “Dolah, ada satu hal yang aku percaya.”

“Apa itu?”

“Kopi pahit masih lebih jujur dari sepak bola kita.”

Dengan itu, mereka menyesap kopi mereka sekali lagi. Pahitnya kali ini lebih dalam. (*)

#camanewak
*) Ketua Satupena Kalbar

Berita Terkait

Berita Terbaru