Ramli Djafar
(Religiositas dan Sastrawan Sumbar)
SEORANG koki restauran yang handal pastilah bisa meramu aneka makanan lezat hanya dari bahan bahan sederhana yang tersedia.
Melalui hal ini orang banyak akan mengagumi hasil atau kreasinya sebagai koki yang punya reputasi yang baik.
Ketika disediakan bahan makanan yang berkualitas baik dan susah didapat, apakan sang koki akan mampu menghasilkan makanan yang punya rasa melebihi bahan makanan yang sederhana?
Kenyataan menunjukkan bahwa hasil olahan makanan dari bahan sederhana bisa menghasilkan makanan yang lezat pasti karena kemampuan sang koki yang hebat, tetapi ketika disediakan bahan makanan yang berkualitas super atau yang bermutu baik dan menghasilkan makanan lezat setara dengan bahan yang sederhana, apakah sang koki gagal membuat makanan yang lezat?
Tidak mudah membuat keseimpulan hal ini kalau dilihat dari sudut pandang secara umum, karena pasti punya dampak positif dan negatifnya.
Akan tetapi bila dipandang hanya dari sudut pandang tertentu saja (baca keinginan pribadi) tentu akan akan mampu membuat suatu pernyataan ekstrem bahwa sang koki gagal membuat makanan yang lezat, karena sama saja hasil akhirnya antara bahan yang sederhana dan bahan yang berkualitas baik.
STY peramu team sepak bola dari latar belakang pemain yang handal yang berasal dari negara asal yang berbeda-beda, namun punya tali keturunan sebagai bangsa Indonesia yang berpuncak yang pada akhirnya sebagai warga negara Indonesia melalui jalur naturalisasi.
Tidak mudah menyatukan pemain sepak bola yang dianggap sudah “jadi” di negara asalnya ini, karena mereka punya skill yang dianggap mumpuni, namun pasti punya karakter yang unik dan rasa ego yang tinggi.
Di tengah persoalan yang ada ini, STY dituntut untuk mampu memberikan hasil yang terbaik, karena dianggap sudah punya team yang dipenuhi dengan para pemain yang sudah “jadi”.
Pertanyaannya : apakah STY mampu mengatasi persoalan yang ada ini supaya tercipta team yang solid?
STY dianggap gagal, karena tidak bisa mempersembahkan kemenangan seperti yang diinginkan para petinggi sepak bola Indonesia, padahal mereka sudah berusaha keras dan mengeluarkan biaya yang besar supaya didapatkan pemain dengan reputasi sudah “jadi” ini.
Apakah ini kegagalan STY dalam membentuk tim sepak bola yang handal?
Apakah orang tidak bisa melihat dan menilai bahwa team sepak bola yang solid dan handal sudah mulai terbentuk dari para pemain yang punya latar belakang yang berbeda-beda ini?
STY masih atau sedang bertanding dalam mimpi 2×45 menit, tetapi peluit panjang telah ditiup. (*)
Padang, 10 Januari 2025