Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
HATIPENA.COM – Kemarin, telepon saya berdering. Dari seberang sana, terdengar suara sahabat dan panutan saya menggema tentang kecintaannya kepada Bali.
Suaranya parau, bukan karena lelah, tapi seperti tertikam kesedihan yang sunyi. “Saya ada Gelogor,” katanya, “tapi rasanya bukan di Bali.”
Deretan rumah, warung, dan kios yang berdiri di kawasan ini, sebagian bahkan semua tak terasa di Bali.
Ia menceritakan masuk ke sebuah warung kecil, tetapi isinya selengkap minimarket—dari mi instan, sayur, ikan hingga sabun muka ada, dari air mineral hingga makanan beku tersedia. Lengkap.
Tapi yang menjual, bukan orang Bali. Dan yang berbelanja, juga bukan orang kita.
“Pak tahu,” katanya pelan, “orang kita malah jarang di sini. Yang ramai justru para pendatang.”
Paradoks pun menyeruak. Di kandangnya sendiri, warga lokal merasa seperti tamu. Mereka yang tumbuh dari tanah ini, yang adat dan budaya leluhurnya menghidupi semesta Bali selama berabad-abad, perlahan tersisih.
Tidak oleh kekerasan, tetapi oleh kekuatan lain: etos kerja, modal besar, dan jejaring pendatang yang luas, kuat dan lihai. Ada kios yang buka dari pagi sampai pagi. 24 jam. Nyaris tak pernah tidur.
“Ini bukan hanya soal kalah bersaing,” lanjut sahabat saya, “tapi soal hilangnya ruang hidup. Jika negara tidak hadir mengatur, jika terlambat, maka warga lokal akan benar-benar termarginalkan.”
Senior saya tampaknya benar. Negara tidak bisa hanya menjadi penjaga iklim usaha yang bebas dan sehat. Negara harus menjadi penyeimbang.
Menjaga agar tanah tidak hanya dipijak, tapi juga dimiliki oleh mereka yang mewarisi keringat leluhur.
Jika warga lokal tersingkir dari pusaran ekonomi, maka luka sosial tinggal menunggu waktu.
Instabilitas akan tumbuh dari perasaan terpinggirkan. Ini bahaya. Bali yang damai bisa berubah menjadi Bali yang bising oleh kegelisahan.
Dan bila itu terjadi, siapa yang mau datang berlibur ke pulau yang kehilangan senyumnya? Kehilangan warga lokal yang penuh dengan keramahtamahan?
Ia kembali bercerita, di kawasan itu, sektor informal nyaris seluruhnya digerakkan oleh pendatang: pedagang kaki lima, tukang cuci mobil, satpam, pembersih saluran. Semua.
Sementara warga lokal menyaksikan dari kejauhan, tertegun dalam ketidakberdayaan.
Sejatinya, sinilah peran desa adat menjadi penting. Bukan sekadar penjaga tradisi, tapi juga penjaga keseimbangan. Membuatnya tetap harmonis.
Desa adat sudah seharusnya berani menetapkan kebijakan lokal yang bijak—bahkan jika perlu, meminta jaminan atau deposit dari setiap pendatang yang ingin menetap atau berusaha.
Harus ada yang penjamin pada setiap pendatang agar turut serta menjaga Bali, menjaga nama baik pendatang juga, menjaga iklim usaha yang sehat agar kedamaian Bali tetap terjaga. Bukan menghalangi, tapi untuk menbuatnya tetap harmoni.
Jika tanah dijual tanpa regulasi, jika ruang hidup disewakan tak dijaga, maka perlahan Bali bukan lagi milik orang Bali.
Ini adalah dunia paradoks: pulau yang merayakan keterbukaan, namun tetancam menjadi asing bagi anak kandungnya sendiri. Pulau yang memikat dunia, tapi pelan-pelan kehilangan dirinya.
Dan kita, yang mencintai Bali, harus bersuara. Sebelum sunyi benar-benar menjadi satu-satunya yang tersisa. (*)
Denpasar, 26 Mei 2025