Oleh Nia Samsihono
Penulis Indonesia
HATIPENA.COM – Di Afghanistan, larangan buku tulisan perempuan di universitas oleh rezim Taliban bukan sekadar kebijakan pendidikan. Ia adalah langkah politik untuk membungkam separuh populasi: perempuan. Dengan dalih moral dan tafsir agama yang sempit, Taliban menutup pintu ruang ilmu bagi perempuan dan bahkan melarang jejak karya mereka hadir di universitas. Diungkapkan di berita detik.news tanggal 19 September 2025 bahwa ‘pemerintah Taliban telah menghapus buku-buku karya perempuan dari kurikulum semua universitas di Afghanistan sebagai bagian dari kebijakan baru yang juga mengarang pelajaran hak asasi manusia dan pelecehan seksual’. Semua buku yang ditulis perempuan tidak boleh dibaca dan diajarkan.
Mengapa? Karena tulisan perempuan bukan sekadar deretan kata. Ia adalah kesaksian hidup, ruang bagi pengalaman yang sering diabaikan, dan jendela menuju dunia yang lebih setara. Saat seorang perempuan menulis, ia tidak hanya berkarya untuk dirinya, tetapi juga menghadirkan suara kolektif tentang kebebasan, rasa sakit, cinta, kehilangan, dan harapan.
Di situlah letak ancamannya bagi rezim yang bertumpu pada kontrol penuh: karya perempuan bisa mengguncang struktur kekuasaan yang mengekang. Bukankah perempuan telah berkarya sejak dulu, bacalah karya Aisyah Al-Bauniyyah, salah satu buah pemikirannya yang terkenal adalah “Prinsip-prinsip Sufisme”. Juga May Ziadeh, Fatima Mernissi, atau Dunya Mikhail.
Bandingkan dengan negara muslim lain. Di Indonesia, karya perempuan justru menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi akademik dan publik. Buku-buku Nh. Dini, Ayu Utami, Dewi Lestari, Abidah El Khalieqy, Musdah Mulia, hingga penulis pesantren perempuan dipelajari di kampus dan ruang diskusi. Di Mesir, karya-karya Nawal El Saadawi, meski menuai kontroversi, tetap menjadi rujukan debat intelektual. Bahkan di Iran yang penuh pembatasan, karya akademik perempuan masih mendapat tempat di universitas, meskipun terbatas.
Afghanistan di bawah Taliban menempuh jalan paling ekstrem: tidak hanya menyingkirkan perempuan dari kelas, tetapi juga menghapus tulisan mereka dari rak ilmu pengetahuan. Namun sejarah menunjukkan, suara perempuan yang dibungkam tidak pernah benar-benar padam. Ia mencari jalan lain: melalui tulisan bawah tanah, jaringan digital, atau solidaritas global. Makin keras larangan, makin kuat pula semangat untuk terus berkarya. Perempuan Afghanistan, meski dibatasi, tetap menulis. Mereka menulis dengan risiko besar, menyembunyikan kata di lembaran kecil, atau mengirimkannya secara diam-diam ke luar negeri.
Pertanyaannya, ada apa sebenarnya dengan “perempuan” berkarya? Jawabannya sederhana sekaligus mendalam: karya perempuan adalah tanda keberadaan mereka yang tak bisa dihapus. Ia menegaskan bahwa perempuan bukan sekadar objek kebijakan, melainkan subjek sejarah yang berpikir, merasakan, dan mencatat. Menulis adalah cara perempuan menyatakan “aku ada” di tengah dunia yang berusaha menghapusnya. Selama perempuan terus menulis, meski dalam sunyi dan sembunyi, suara itu akan tetap hidup, menunggu saatnya untuk kembali menggema di ruang-ruang yang kini tertutup. (*)
Jakarta, 20 September 2025