Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Sudah 115 Jemaah Haji yang Wafat

June 2, 2025 07:20
IMG-20250602-WA0010

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar


HATIPENA.COM – Langit Makkah tetap biru. Tapi di bawahnya, tanah panas menyerap peluh dan air mata. Hingga 1 Juni 2025, sebanyak 115 jemaah haji telah wafat. Tak kembali ke rumah, tapi konon kembali ke Tuhan, dalam iringan doa yang tak selesai-selesai. Mereka tidak meninggal di rumah sakit elite, tidak juga di pelukan keluarga, tapi di lorong tenda Mina, di atas sajadah lusuh, atau dalam desak-desakan menuju tempat suci.

Mereka datang dengan harapan. Harapan untuk menjadi bersih. Untuk menukar seluruh beban hidup dengan sehelai kain ihram, dan pulang sebagai bayi spiritual yang bebas dari noda. Tapi sebagian justru pulang sebagai jenazah. Sementara dunia menyebut ini husnul khatimah, anak-anak mereka di kampung menunggu kepulangan yang tak pernah tiba. Ada yang sempat menelepon sehari sebelum ajal menjemput, mengatakan dirinya baik-baik saja, hanya lelah, hanya pusing sedikit. Tak tahu bahwa itu adalah salam terakhir.

Pada tahun 2024, jumlah jemaah haji Indonesia yang wafat di Tanah Suci mencapai 461 orang, mayoritas berusia 71 tahun ke atas. Tahun sebelumnya, lebih menyayat, 773 orang wafat sepanjang musim haji 2023. Ini menjadikannya rekor tertinggi dalam satu dekade. Dari jumlah 2024 itu, sebanyak 353 wafat di Makkah, 60 di Madinah, 32 di Mina, 6 di Arafah, dan 10 di Jeddah. Penyebabnya klasik namun mematikan: penyakit jantung, infeksi sepsis, dan komplikasi menahun. Semuanya diperparah suhu ekstrem hingga 50°C dan padatnya arus manusia.

Bayangkan tubuh ringkih berjalan berkilo-kilometer di bawah matahari padang pasir. Bayangkan lansia dengan tekanan darah tinggi dan napas yang pendek mencoba melempar jumrah di antara teriakan dan dorongan. Bayangkan seorang nenek yang mengumpulkan uang selama 30 tahun, hanya untuk wafat setelah tawaf keempat. Tanpa sempat menyelesaikan niat sucinya. Tanpa sempat pulang membawa air zamzam.

Mereka ingin meninggal di tanah suci, katanya. Karena di situlah makam para sahabat. Di situlah Rasulullah dimakamkan. Bahkan Umar bin Khattab pernah berdoa agar diwafatkan di Madinah sebagai syahid. Sabda Nabi pun dikutip ribuan kali, “Barang siapa yang ingin mati di Madinah, maka matilah di sana. Sesungguhnya aku akan memberi syafa’at bagi orang yang mati di sana.” Tapi apakah setiap kematian di sana adalah syahid? Apakah setiap tubuh yang roboh oleh dehidrasi dan tekanan darah rendah akan langsung disambut malaikat di Raudhah?

Kita terlalu mudah menyebut kematian sebagai karunia. Padahal beberapa dari mereka wafat karena ambulans terlambat, karena tubuh terlalu lemah, karena dipaksa berangkat demi status sosial dan gengsi keluarga. Kita menyebutnya takdir. Padahal, sebagian bisa dicegah. Kita menyebutnya husnul khatimah, padahal yang wafat belum tentu rela.

Hingga 1 Juni 2025, 115 nama kembali ke tanah, bukan tanah air, tapi tanah Tuhan. Jumlah itu masih akan bertambah. Maut tidak menunggu niat. Ia datang ketika tubuh tak lagi mampu membawa rindu. Ia datang bukan untuk mengadili, tapi untuk mengakhiri. Untuk membawa pergi mereka yang hanya ingin sekali saja mencium Hajar Aswad, atau duduk tenang di bawah payung besar Masjid Nabawi.

Air mata pun tumpah. Bukan karena duka semata, tapi karena kita tahu, ibadah paling mulia ini, juga bisa menjadi perpisahan paling sunyi. Tidak ada takziah massal. Hanya laporan digital dan berita yang lewat begitu saja.

Tapi bagi yang ditinggalkan, setiap angka adalah ayah. Setiap statistik adalah ibu. Setiap korban adalah kisah. Setiap kematian adalah lubang di dada yang tak bisa ditambal oleh fatwa.

Bagi orang tua atau keluarga yang sedang menunaikan haji, doakan mereka agar tetap kuat, dan bisa kembali ke tanah air dengan membawa air zam-zam. Doakan agar bisa kembali merasakan kopi dari bumi ibu pertiwi. (*)

#camanewak