HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Sudewo Berani Walau Dilempari Botol, Ia Diisukan Mundur

August 14, 2025 08:27
IMG-20250814-WA0044

Rosadi Jamani
Ketua Satupena Kalbar

HATIPENA.COM – Inilah update terkini situasi Pati. Sang Bupati cukup berani, temui demonstran. Namun, ia malah dihujani lemparan botol dari rakyat sendiri. Hal cukup ramai, Sudewo diisukan mundur. Seruput lagi kopi tanpa gula agar otak encer dan waras.

Pati makin panas. Ratusan ribu rakyat mengepung kantor bupati. Mereka datang bukan untuk wisata kuliner tahu bakso, bukan pula untuk nonton festival karnaval, tapi untuk menyaksikan sebuah drama politik langsung di panggung terbuka, Bupati Sudewo, sang penguasa tanah Pati, dilempari botol. Bukan botol anggur perayaan, tapi botol kemarahan, botol kecewa, botol simbol bahwa rakyat sudah muak sampai ke tulang sumsum.

Momen itu epik, seperti adegan film perang di mana sang jenderal keluar dari markas, berusaha menenangkan prajurit yang sudah setengah gila karena lapar dan haus keadilan. Sudewo keluar dari atap mobil, dikawal ajudan dan ratusan polisi berpakaian antihuru-hara. Dengan micropon di tangan, ia membuka mulut, berkata “Saya mohon maaf”, kalimat yang biasanya jadi mantra pamungkas dalam seminar motivasi. Tapi di sini, mantra itu gagal memanggil kedamaian. Rakyat tak berubah jadi penonton yang bertepuk tangan, mereka malah berubah jadi mesin pelontar botol.

Botol itu melayang-layang di udara, seperti sedang mengikuti lomba tarik tambang antara gravitasi dan gravitasi rakyat. Ajudan sang bupati, entah terlatih di medan perang atau hanya refleks dengan cekatan mengangkat tameng polisi, menahan hujan benda yang bisa membuat benjol kepala siapa pun yang kena. Gas air mata pun keluar, polisi mencoba memadamkan api amarah yang justru makin membubung seperti kabut neraka di pagi hari.

Melihat situasi makin panas, sang jagoan yang menantang rakyat itu, cepat diamankan, lalu dilarikan ke tempat aman. Namun, polisi harus semburkkan gas air mata meredam demonstran.

Tapi gas air mata ternyata bukan akhir, melainkan awal dari babak baru kekacauan. Dalam riuh itu, terdengar kabar bahwa sejumlah polisi malah diamankan oleh pendemo. Adegan ini absurd, seperti penonton film yang tiba-tiba menangkap pemeran figuran. Ada polisi yang dikejar-kejar, kakinya hampir terkilir, dilempari batu dan botol plastik berisi entah apa. Sebuah kendaraan terbakar di sudut jalan, nyalanya berkobar seperti ingin bersaing dengan matahari. Api itu memantulkan bayangan wajah-wajah marah, sekaligus wajah-wajah yang mulai letih.

Di tengah kabut gas dan asap pembakaran, beberapa demonstran tumbang. Ada yang terduduk di aspal, matanya berair, napasnya tersengal. Seorang relawan berlari membawa tabung oksigen, seperti malaikat dadakan yang turun dari langit Pati. Ada yang menepuk punggung korban, ada yang mengipas-ngipasi dengan kardus bekas. Adegan ini seperti perpaduan antara perang, dapur umum, dan pengajian akbar yang salah jadwal.

Tapi ini bukan sekadar tentang botol, bukan sekadar tentang bupati yang kepalanya nyaris jadi target latihan. Ini tentang suara rakyat, suara yang sering disebut suci oleh para politisi saat kampanye, lalu dilupakan begitu kursi empuk kantor sudah diduduki. Suara rakyat itu kini berubah jadi proyektil, jadi benda fisik, jadi botol yang bersuara “Plaak!” saat mengenai tameng. Inilah filsafat baru demokrasi Pati. Jika suara di TPS tak didengar, maka suara akan mencari bentuk yang lebih keras.

Orang bisa berkata bahwa kejadian ini adalah tragedi. Tapi dalam tragedi selalu ada humor gelap. Ada yang berkomentar di pinggir lapangan, “Lihat, bupati akhirnya merasakan juga kayak kami waktu bayar PBB, tiba-tiba kena lemparan angka 250%!” Humor ini pahit, sehitam kopi tanpa gula di warkop reot. Tapi begitulah rakyat Pati. Mereka tahu caranya menertawakan luka, sambil terus memukul gong kemarahan.

Di sisi lain, para pembaca berita di kota lain menonton ini seperti menyaksikan sinetron. Ada yang membela bupati, bilang “Kasihan, beliau kan sudah minta maaf.” Ada juga yang bilang, “Kalau cuma minta maaf, kami semua juga bisa jadi bupati.” Bagi rakyat di lapangan, minta maaf bukanlah tiket keluar dari tanggung jawab, minta maaf hanya kata pembuka untuk bab baru, dan bab baru itu namanya “Mundur.”

Yang membuat drama ini semakin absurd adalah kabar bahwa bupati sudah mundur, katanya. Kata siapa? Kata perwakilan demo yang membaca surat di tengah lautan manusia. Tapi bupati sendiri? Ah, beliau masih bicara soal demokrasi, soal mandat rakyat yang suci. Maka kita punya dua realitas, realitas podium rakyat dan realitas podium kekuasaan. Dua podium ini tak bertemu, seperti dua rel kereta yang terus sejajar tapi tak pernah bersentuhan.

Begitulah, Pati menjadi panggung teater raksasa. Semua orang memainkan peran. Rakyat sebagai pemeran utama yang teriakannya mengguncang. Bupati sebagai tokoh yang diuji kesabarannya, ajudan sebagai superhero yang menyelamatkan kepala dari botol nyasar, polisi yang kadang jadi penonton, kadang jadi korban tangkapan, dan polisi lain yang jadi kru efek khusus dengan gas air mata. Penonton? Seluruh Indonesia, yang menonton sambil bertanya-tanya, apakah ini babak akhir atau sekadar jeda sebelum pertunjukan lanjutan?

Sampai tulisan ini berakhir, bupati belum resmi mundur. Tapi di mata rakyat yang pulang dengan mata perih karena gas air mata, dengan telinga masih berdenging teriakan massa, dan dengan hidung yang masih mengingat bau ban terbakar, dia sudah jatuh dari tahta. Sebab dalam demokrasi absurd ala Pati, mandat tak lagi diukur dari surat resmi atau tanda tangan gubernur, mandat diukur dari seberapa besar chaos yang terjadi, dan di hari itu, Pati sudah memenuhi kuota chaos nasional. (*)

#camanewak