HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Sufisme dalam Secawan Kopi dari Aroma Kapitalisme Global Bersama Sir Allama Muhammad Iqbal

August 15, 2025 17:31
IMG_20250815_172928

Oleh ReO Fiksiwan

“Dia telah melestarikan bagian terbaik dari dirinya dan menjadikannya miliknya sendiri: prinsip aroma tubuhnya.” Patrick Süskind(76), Das Parfum: Die Geschichte eines Mörders(1985).

HATIPENA.COM – Di dunia yang makin menyerupai kedai kopi raksasa, di mana selera diseduh oleh algoritma dan cita rasa ditentukan oleh tren, kita duduk sejenak bersama Sir Allama Muhammad Iqbal (1877-1938), penyair filsuf dari Lahore, Pakistan, dan segelas kopi yang tak lagi sekadar minuman, melainkan metafora tentang jiwa, pasar, dan politik.

Dalam Asrar-i-Khudi (1915), Iqbal menulis tentang rahasia diri—khudi—sebagai kekuatan spiritual yang harus dibangkitkan, bukan ditenggelamkan oleh kenikmatan instan.

Tapi bagaimana membangkitkan khudi jika setiap pagi kita lebih dulu membangkitkan promo diskon kopi dari aplikasi?

Kopi, dalam dunia sufistik, bisa menjadi simbol kesadaran. Ia pahit, membangunkan, dan mengajak merenung.

Tapi dalam dunia kapitalisme global, kopi adalah komoditas yang dibungkus dengan estetika palsu dan dijual dengan harga yang membuat petani di Ethiopia menangis sambil memetik biji.

Kita tidak lagi minum kopi, kita mengonsumsi gaya hidup. Bahkan rasa pahitnya pun telah dimaniskan oleh sirup karamel dan narasi branding.

Peter L. Bernstein (77), dalam Against the Gods: The Remarkable Story of Risk (1996) menyindir bahwa dalam dunia modern, Tuhan telah digantikan oleh pasar, dan spiritualitas oleh preferensi konsumen.

Maka tak heran jika secangkir kopi bisa menjadi alat pembunuhan, seperti dalam kasus Jessica dan kopi sianida.

Ironi yang begitu tajam: minuman yang seharusnya membangkitkan kesadaran justru menjadi senjata untuk mematikan tubuh.

Di situ, kita melihat bagaimana selera bisa menjadi alat kekuasaan, dan bagaimana racun bisa disajikan dalam cangkir yang tampak elegan.

Dan ketika aroma kopi menyeruak ke ranah politik, kita disuguhi drama baru: boikot terhadap sebuah startup kopi yang dituduh menyokong genosida Israel atas Palestina.

Tiba-tiba, kopi menjadi pernyataan ideologis.

Minum atau tidak minum menjadi pilihan moral. Barista pun berubah menjadi aktivis, dan pelanggan menjadi komentator geopolitik.

Sungguh, dunia ini telah menjadi espresso yang terlalu pekat: pahit, panas, dan penuh tekanan.

Sir Iqbal mungkin akan tersenyum getir melihat ini semua.

Dalam Asrar-i-Khudi, ia menyerukan agar manusia membangkitkan kekuatan batinnya, bukan tunduk pada selera massa.

Tapi di zaman ini, khudi telah digantikan oleh promo buy 1 get 1.

Jiwa tak lagi dibentuk oleh perenungan, melainkan oleh algoritma rekomendasi. Kita tidak lagi bertanya “siapa aku?”, melainkan “kopi mana yang sedang viral?”

Dan di tengah semua ini, kita duduk, menyeruput secawan kopi, sambil tertawa pahit.

Karena dalam setiap tegukan, ada jejak petani yang tak dibayar layak, ada algoritma yang mengatur selera, ada politik yang menyusup ke dalam cangkir, dan ada spiritualitas yang perlahan larut seperti gula yang terlalu banyak.

Sufisme mengajarkan bahwa kesadaran bisa lahir dari hal-hal kecil. Tapi kapitalisme mengajarkan bahwa hal kecil harus dijual dalam kemasan besar.

Maka, secawan kopi bukan lagi tentang rasa, tapi tentang siapa yang meminumnya, di mana, dan apakah ia cukup estetik untuk diunggah.

Dan di situlah kita kehilangan diri—khudi—karena terlalu sibuk mengejar rasa yang bukan milik kita. Selamat menikmati kopi.

Tapi jangan lupa, pahitnya bisa jadi bukan dari biji, melainkan dari dunia yang menyeduh kita lebih dulu. (*)