Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)
LAUT. Rumah para nelayan. Tempat ikan berlarian, ombak berdendang, dan matahari tenggelam dalam peraduan emas. Kini, laut di Tangerang, Banten, dihiasi pemandangan baru, pagar. Ya, pagar! Sebuah mahakarya absurd yang membentang sepanjang 30,16 kilometer. Tingginya 6 meter, kokoh dari bambu dan cerucuk, dihiasi anyaman bambu serta paranet, seolah-olah laut adalah penjahat yang perlu dijebloskan ke penjara.
Siapa dalangnya? Entahlah. Sama misteriusnya seperti siapa yang mencuri sandal di masjid. Sama misteriusnya di mana Harun Masiku.
Tidak ada nama, tidak ada izin. Pemerintah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pun kebingungan. Yang jelas, pagar ini menjajah 16 desa di 6 kecamatan, dari Muncung sampai Pakuhaji, tanpa basa-basi. Nelayan? Jangan ditanya. Mereka kini berdiri di bibir pantai, memandang laut dengan tatapan kosong, seolah-olah seseorang baru saja mencabut mimpi mereka untuk menyambung hidup.
Apa motivasi di balik tindakan ini? Spekulasi pun berserakan seperti daun kering di musim kemarau. Ada yang bilang ini kepentingan pribadi, mungkin untuk mencaplok wilayah demi keuntungan sepihak. Ada yang berbisik ini pengamanan aset, seolah-olah laut adalah brankas yang butuh gembok. Bahkan, ada yang mencoba menyelipkan dalih lingkungan, sebuah ironi tajam, mengingat pagar ini jelas-jelas mengancam ekosistem laut yang rapuh.
Presiden Prabowo, dengan gayanya yang khas, akhirnya memerintahkan penyegelan pagar. Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, langsung mengerahkan pasukan pengawas ke lokasi. Tapi tindakan ini terasa seperti menambal perahu bocor dengan selotip. Nelayan sudah terlanjur geram. Ekosistem sudah mulai terguncang. Kita? Kita hanya bisa menggigit bibir, melihat absurdnya drama ini.
Bayangkan, wak! Laut, simbol kebebasan, kini dipenjara. Nelayan yang dulu melaut dengan harapan kini hanya bisa menatap pagar, bertanya-tanya apa dosa mereka. Sementara itu, ikan-ikan mungkin tertawa getir, berenang melintasi perairan yang dipenuhi karung pasir, bertanya-tanya siapa manusia sombong yang berani mengklaim laut untuk dirinya sendiri.
Ini bukan sekadar pagar. Ini adalah tamparan keras pada logika dan kemanusiaan. Karena, mari jujur saja, laut adalah milik bersama. Ia bukan properti yang bisa diambil seenaknya, apalagi dipagari seperti halaman belakang rumah. Tanah sudah habis dijarah, hutan ditebangi sampai botak, dan sekarang laut pun dijadikan korban? Ah, manusia. Rakusmu tak berbatas.
#camanewak