HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Tak Ada Katamaran dan Coelecant Hari Ini

August 16, 2025 10:22
IMG-20250816-WA0034

Oleh ReO Fiksiwan

“Kepunahan yang terjadi saat ini berakar pada aktivitas manusia. Diperkirakan spesies menghilang pada tingkat yang setidaknya seratus kali lebih tinggi daripada tingkat kepunahan normal dan mungkin seribu kali lebih tinggi lagi.” Elizabeth Kolbert (64), The Sixth Extinction: An Unnatural History (2015).

HATIPENA.COM – Di pesisir Teluk Manado, tepatnya di Pulau Manado Tua dan Bunaken, alam tak lagi bernyanyi.

Laut tak lagi berbisik. Yang tersisa hanya gema sunyi dari ekosistem yang perlahan menghilang, seperti tamu tak diundang yang enggan pergi.

Katamaran, si perahu kaca yang dulu menjadi jendela anak-anak Bunaken untuk menyapa dunia bawah laut, kini tinggal satu, dirawat dengan cinta oleh pemiliknya yang mungkin satu-satunya masih percaya bahwa laut punya jiwa.

Tak ada lagi ikan Napoleon (Cheilinus undulatus;Humphead Wrasse), yang berenang anggun dengan tubuh sepanjang satu meter dan lebar 60 cm, seperti raja yang dulu menyambut penyelam dengan gagah.

Tak ada lagi coelecant, si fosil hidup yang konon telah berenang sejak 7000 tahun silam, kini hanya menjadi pajangan beku di ruang tamu Gubernuran Sulut.

Ironis, ikan purba yang ditemukan nelayan pada 2009 menjelang World Ocean Conference — sekaligus jadi maskot WOC — kini lebih dihargai sebagai artefak daripada sebagai makhluk hidup yang seharusnya bebas di laut.

Bunaken, yang sejak 1990-an dijadikan kawasan lindung oleh UNDP dan Pemprov Sulut, kini seperti taman yang dilupakan.

Terumbu karangnya hancur, lamun, satwa laut dan rotifera tinggal cerita.

Ekowisata yang dulu menjadi harapan, kini tinggal nostalgia. Jika dikenangkan pun menyisakan luka ekologi yang dalam dan menyakitkan selamanya.

Bahkan nostalgia pun telah kehilangan makna ketika yang dikenang tak lagi bisa ditemukan.

Seperti cerita anak-anak dalam buku Cerita dari Utara, hasil lomba literasi yang digagas oleh GM Region 4 PT. Pelindo Manado, Ella Nurlaila Arbie MSC, alumni teknik dari universitas Amerika, asal Gorontalo, yang menggandeng Pusat Literasi Sulut.

Dari 54 anak Bunaken ikut lomba menulis cerita, dua pemenang, Merzia M. Takaedengan (12) dan Aqila D.P. Lamaka (14), menulis tentang Dunia di Bawah Katamaran dan Kola Si Raja Laut.

Dua kisah yang kini lebih mirip obituari ekologi daripada dongeng anak-anak.

Katamaran dan Kola, dua warisan kultural dari anak-anak pulau, kini menjadi simbol kehilangan.

Katamaran yang dulu mengantar wisatawan menyapa karang dan ikan, kini tak lagi berlayar.

Kola, si coelecant, tak lagi berenang. Bahkan Napoleon pun telah menyerah. Entah bersembunyi di laguna terdalam atau telah bermigrasi ke Raja Ampat?

Bunaken, yang dulu menjadi surga bawah laut, kini menjadi halaman belakang proyek reklamasi. Beton dan pasir menggantikan lamun dan karang.

Reklamasi dua tahap di pesisir Teluk Manado bukan sekadar pembangunan, tapi pengumuman: kepunahan ketujuh sedang berlangsung, the seventh extinction!

Elizabeth Kolbert, jurnalis lingkungan peraih Pulitzer 2015 dari The New Times, pernah menyinyalir kepunahan keenam dalam The Sixth Extinction sebagai hikayat kepunahan tak alami dari ecosida di Teluk Mexico hingga hutan Amazon.

Kini, Bunaken bersiap menjadi bab berikutnya.

Tapi jangan khawatir, kita masih bisa berfoto di depan akuarium, atau selfie di atas dermaga beton.

Karena di negeri ini, kepunahan bukan tragedi, melainkan dekorasi.

Tak ada katamaran dan coelecant hari ini. Tapi ada brosur wisata, ada proyek reklamasi, dan ada ruang tamu yang dihiasi ikan purba.

Kita memang tak pandai merawat laut, tapi kita jago mengawetkan bangkai dari populasi keragaman hayati! (*)