Ilustrasi: Meta AI/ Wayan Suyadnya
Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya
HATIPENA. COM – Di sudut dunia yang penuh paradoks ini, kita kembali dihadapkan pada pertanyaan pelik: apa yang dianggap suci, apa yang dianggap hiburan, dan di mana batas keduanya?
Atlas, sebuah tempat hiburan terkemuka di Bali, menayangkan gambar Dewa Siwa dalam salah satu atraksi mereka.
Sebagian umat Hindu geram, menilainya sebagai pelecehan. Suara keberatan menggema, protes mengalir.
Lalu pihak Atlas meminta maaf, bahkan sampai menggelar upacara Guru Piduka—sebuah ritual pembersihan dan permohonan maaf dalam tradisi Hindu Bali.
Di sinilah paradoksnya. Yang merasa itu tidak ada pelecehan, justru paling kenceng berbicara. Yang merasa itu bukan masalah, justru sibuk mempermasalahkan, memberi argumen-argumen, seakan-akan mereka yang paling tahu bagaimana agama ini harus dipahami.
Sementara yang telah meminta maaf, diam-diam mengakui sebagai kesalahan mereka sendiri.
Di mana letak kebenaran?
Ini bukan pertama kalinya sesuatu yang dianggap sakral terseret ke dalam dunia hiburan.
Dewa-dewa telah lama menjadi inspirasi, dari seni, film, hingga komersialisasi. Dalam satu sisi dunia, Dewa Siwa dipuja di pura. Di sisi lain, ia ditampilkan di panggung dengan lampu gemerlap, diiringi dentuman musik, dipertontonkan kepada mereka yang mungkin tak paham esensi spiritualnya.
Ada yang tak terima. Ada yang merasa biasa saja. Ada yang menilai bahwa selama tidak ada niatan buruk, semua sah-sah saja.
Tapi, mari kita bertanya: apakah sakralitas bisa diukur dari niat? Apakah nilai-nilai suci bisa begitu saja dicampur dengan dunia hiburan tanpa batas?
Atlas meminta maaf. Itu artinya ia mengakui sebagai kekhilafan, mungkin tak berniat menyinggung, tapi tetap merasa perlu menghormati kepercayaan masyarakat. Maka, upacara Guru Piduka digelar.
Ritual ini bukan hanya sekadar formalitas, tapi sebuah bentuk tanggung jawab dalam spiritualitas Hindu Bali—sebuah pengakuan bahwa ada keseimbangan yang harus dijaga, ada harmoni yang harus dipulihkan.
Tapi anehnya, yang merasa tidak ada pelecehan justru paling ribut. Seakan mencari panggung. Bukankah jika seseorang tak merasa tersinggung, cukup diam saja, kenapa menjadikannya panggung? Jika sesuatu bukan masalah bagi kita, tak perlu ikut berkicau panjang lebar?
Inilah dunia paradoks. Yang tidak tersakiti justru paling keras merasakan sakitnya. Yang tidak merasa terhina justru sibuk memberi pembenaran.
Sementara yang bersalah sudah mengakui, sudah meminta maaf, sudah melakukan upacara pembersihan.
Maka, ke depan, ini menjadi pelajaran. Sebelum sesuatu yang sakral dijadikan tontonan, ada baiknya kita bertanya: Apakah ini pantas? Sebab, ketika yang suci dijadikan hiburan, batasan menjadi kabur.
Ketika sesuatu yang dihormati dipertontonkan tanpa pemahaman yang benar, konflik tak terhindarkan.
Dan dunia paradoks ini akan terus berulang: di mana yang tidak tersinggung malah paling vokal, yang bersalah sudah mengalah, dan yang suci—kembali harus dijaga agar tak tergelincir menjadi sekadar atraksi.(*)
Selamat Merayakan Hari Suci Pagerwesi.
Denpasar, 12 Februari 2025