Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025 ------ Ikuti Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2025. Ketentuan dan Syarat #sayembaranoveldkj2025

Tas Kresek; Hulu dan Hilir

June 11, 2025 08:17
IMG-20250611-WA0024

Catatan Paradoks; Wayan Suyadnya

HATIPENA.COM – Ada kebijakan yang luar biasa dari Gubernur Bali Wayan Koster. Kebijakan yang terasa seperti menanam benih di tanah batu: larangan tas kresek dan plastik sekali pakai.

Ini keputusan yang mulia, sangat mulia, namun menyakitkan, sebab ia seperti pisau yang memotong rutinitas rakyat, kebiasaan kita semua.

Bayangkan seorang ibu penjual ikan di pasar, tangannya terbiasa mengisi kantong plastik dengan lele segar dan daging basah. Atau penjual cendol yang menggantungkan harap pada plastik murah untuk menyambung hidup. Kini mereka semua dituntut untuk berubah, tanpa kompromi.

Paradoksnya, kebijakan ini bukan untuk menyulitkan, tetapi justru menyelamatkan. Demi bumi, demi pariwisata, demi cucu yang belum lahir, demi Bali yang bersih dan tetap bernyawa.

Namun betapa getir: langkah menuju kebaikan harus dimulai dengan penderitaan. Tidak populer. Tidak nyaman. Dan karena itu, sulit.

Di zaman disrupsi ini, pemimpin yang berani tak populer harus diberi jempol, bukan caci. Kita memilih pemimpin bukan untuk membuat kita nyaman, tetapi untuk membawa kita keluar dari kebiasaan buruk. Karena kalau pemilu hanya soal siapa yang ramah senyum dan pandai berjanji, maka kita sedang menggali lubang untuk anak cucu sendiri.

Mari jujur: kebijakan ini sulit, bahkan sangat sulit. Menuliskannya mudah—terlampau mudah. Tapi menjalankannya? Sungguh, seperti memikul gunung dengan tangan kosong. Malu rasanya menulis hal yang tak bisa dijalankan seketika. Namun tetap harus ditulis, sebab masa depan tak boleh menunggu kesiapan kita yang terlalu lamban.

Hulu dan hilir harus dibaca dalam satu napas. Tak cukup melarang di ujung pemakaian. Tas kresek dan plastik harus dihentikan dari sumbernya, dari pabriknya, dari jalur distribusinya. Jangan beri ruang untuk beredar.

Jika tak ada di pasar, maka tak ada yang bisa membagikannya, dan lambat laun kita semua belajar menyesuaikan diri.

Tentu tetap muncul pertanyaan: siapa yang mengganti? Apa penggantinya? Apakah penjual yang harus menanggung beban biaya produksi baru, atau pembeli yang harus membawa sendiri alat bawa ramah lingkungan? Ini bukan tentang siapa yang salah atau benar, tapi soal siapa yang lebih dulu rela berubah.

Barangkali sebagai penggantinya, kita butuh plastik baru—bukan dari minyak bumi, tapi dari bumi itu sendiri. Dari daun, dari serat alami, dari pikiran-pikiran kreatif yang mencintai lingkungan. Kita harus mencipta seperti kita pernah mencipta plastik dahulu, hanya kali ini, dengan hati yang lebih bijak.

Karena kalau Bali kotor, turis akan menjauh. Jika turis menjauh, Bali kehilangan masa depan. Dan jika masa depan hilang, kita tak ubahnya seperti sedang melakukan bunuh diri kolektif.

Maka biarlah tas kresek dan plastik sekali pakai menjauh dari pulau ini, seperti kita menjauhkan racun dari tubuh kita sendiri.

Sulit? Iya. Menyakitkan? Pasti. Tapi demi kehidupan, demi tanah para dewata, kita tak punya pilihan selain berani melawan kenyamanan kita sendiri. (*)

Denpasar, 11 Juni 2025