HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600 ------ HATIPENA.COM adalah portal sastra dan media untuk pengembangan literasi. Silakan kirim karya Anda ke Redaksi melalui pesan whatsapp ke 0812 1712 6600

Tata Krama Masyarakat Saibatin

August 15, 2025 07:13
IMG-20250815-WA0012

Mohammad Medani Bahagianda
(Dalom Putekha Jaya Makhga)


Tabik Pun!

HATIPENA.COM – Masyarakat adat Lampung Saibatin, yang menghuni pesisir dan barat Lampung, membangun peradaban mereka di atas fondasi tata krama yang sangat halus dan mendalam. Tata krama, atau sopan santun, bukan sekadar aturan perilaku lahiriah bagi mereka.

Ia adalah kristalisasi nilai-nilai filosofis, spiritual, dan hierarki sosial yang telah mengalir dalam “palung silsilah” (titiyan) sejak zaman nenek moyang. Memahami tata krama Saibatin berarti menyelami inti kemanusiaan mereka yang terikat oleh adat (pi’il pesenggiri) yang agung.

Rumah adat Lamban bukan hanya bangunan fisik, melainkan pusat gravitasi kehidupan beradat. Di sinilah tata krama dipupuk dan diamalkan secara nyata. Setiap langkah memasuki Lamban diatur sedemikian rupa, mencerminkan penghormatan mendasar.

Pintu masuk yang rendah (lawang kuri) mengharuskan setiap tamu menunduk, simbol kerendahan hati dan penghapusan kesombongan sebelum memasuki ruang sakral adat. Suasana di dalamnya hening dan khidmat, mendorong setiap ucapan dipilih dengan bijak (mupakat) dan setiap tindakan dipertimbangkan matang.

Kitab adat Kuntara Raja Niti, salah satu rujukan utama, menegaskan pentingnya lingkungan dalam pembentukan karakter: “Di dalam begawi, di dalam Lamban, tegak pi’il pesenggiri; adat pusako, tepian tulisan” (Di dalam perhelatan, di dalam Lamban, tegaklah harga diri yang beradat; adat pusaka, tepian tulisan).

Pi’il Pesenggiri (harga diri beradat) hanya dapat “tegak” (tegak) di ruang yang disucikan adat seperti Lamban. Lamban menjadi “tepian tulisan” (tepian tulisan), metafora untuk tempat menimba ilmu dan menuliskan perilaku yang benar sesuai ajaran leluhur. Tata krama di Lamban adalah kurikulum utama untuk membentuk manusia berharga diri sejati.

Hierarki adat Saibatin diwujudkan secara nyata dalam gelar (juluk adek) yang disandang melalui prosesi sakral Begawi (Pengangkatan Penyimbang). Tata krama dalam berkomunikasi sangat dipengaruhi oleh perbedaan gelar ini. Menyapa atau menyebut seseorang tanpa gelar adatnya yang sesuai dianggap pelanggaran berat, meruntuhkan pesenggiri (harga diri) individu dan keluarganya.

Filosofi ini terkandung dalam adagium: “Bejuluk Beadek, Nengah Nyappur, Nemui Nyimah”. Analisis Filosofis: Bejuluk Beadek (Bergelar dan Berpanggilan) adalah fondasi. Penggunaan gelar (juluk) dan panggilan adat (adek) yang tepat menunjukkan pengakuan atas posisi dan jasa seseorang dalam tatanan adat. Nengah Nyappur (Tengah Menyapa) menekankan pentingnya pendekatan yang sopan dan penuh hormat dalam berinteraksi.

Nemui Nyimah (Menyambut Ramah) menggambarkan kewajiban pemilik gelar tinggi untuk membalas penghormatan dengan keramahan dan kemurahan hati. Ketiganya membentuk siklus tata krama timbal balik yang menjaga keharmonisan sosial. Menyimpang darinya berarti mengacaukan tatanan kosmis (semestero) masyarakat.

Prosesi pernikahan adat (Ngebabali) adalah pentas agung dimana tata krama mencapai puncak kerumitan dan keindahannya. Setiap tahap, mulai dari muli-mengan (pertemuan keluarga), hantar tando (penyerahan tanda ikatan), hingga akad nikah dan puncak begawi (pesta adat), dijalankan dengan gerak dan ucapan yang terukur penuh makna.
Sikap tubuh sangat penting. Duduk bersila (duduk sempalan) dengan posisi tertentu menunjukkan status dan kesopanan.

Menundukkan kepala (cunguk) saat menerima sesuatu atau mendengarkan nasihat adalah keharusan. Ucapan-ucapan dalam jama (pantun adat) yang dipertukarkan bukan sekadar sajak, melainkan media penyampaian niat, permohonan maaf, doa, dan nasihat dengan bahasa yang indah dan tidak langsung, menjaga perasaan semua pihak.

Seorang tetua adat dari Pesisir Barat pernah berujar, “Dalam begawi, lidah lebih tajam dari pisau, tapi juga lebih lembut dari sutera. Pilihlah kata yang membangun, bukan yang melukai, walau dalam canda.”

Tata krama dalam Ngebabali mencerminkan perjalanan spiritual mempersatukan dua insan dan dua keluarga. Setiap gerak terpola dan ucapan tersurat adalah doa dan meditasi kolektif untuk keberkahan. Kesabaran, pengendalian diri (mikhiwang), dan kehalusan budi (lun khapal) yang dituntut dalam setiap interaksi adalah ibadah sosial, mengalirkan energi positif (berkat) bagi pengantin dan masyarakat.

Tata krama masyarakat Saibatin Lampung adalah sebuah mahakarya budaya yang hidup. Ia bukan sekadar daftar larangan dan perintah, melainkan sistem nilai kompleks yang mengatur interaksi manusia dengan sesama, dengan leluhur, dan dengan alam semesta. Dari kesederhanaan menunduk di Lawang Kuri Lamban, hingga kerumitan dialog dalam Jama pada Ngebabali, setiap unsur tata krama mengandung analisis filosofis mendalam tentang penghormatan, hierarki, tanggung jawab, dan spiritualitas.

Dalam dunia yang semakin mengglobal, tata krama Saibatin menghadapi tantangan. Namun, intisarinya – Pi’il Pesenggiri yang dijaga melalui Bejuluk Beadek, Nengah Nyappur, Nemui Nyimah – tetap relevan sebagai penjaga martabat individu dan perekat sosial. Ia mengingatkan bahwa kemajuan tanpa dilandasi kesantunan dan penghormatan terhadap tatanan, hanya akan melahirkan kehampaan spiritual.

Tata krama Saibatin, dengan segala keluhurannya, tetap berdiri sebagai tiang penyangga peradaban yang mengajarkan bahwa menjadi manusia seutuhnya dimulai dari cara kita melangkah, menyapa, dan menghormati ruang serta sesama. (*)

Sumber Referensi Terverifikasi:

  1. Sidik, Abdurrahman (Ed.). (1991). Kuntara Raja Niti: Naskah Kuno Daerah Lampung. Bandar Lampung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Wilayah Propinsi Lampung, Proyek Pembinaan Benda Peninggalan Sejarah dan Kepurbakalaan. [Format Fisik: Tersedia di Perpustakaan Nasional RI dan Perpustakaan Daerah Provinsi Lampung].
  2. Djausal, Anshori. (2015). Adat Istiadat Lampung Saibatin. Bandar Lampung: Aura Publishing. [Format Fisik/Digital: Tersedia di toko buku utama (seperti Togamas) dan platform e-book terkemuka].
  3. Wawancara dengan Penyimbang Adat (Catatan: Identitas narasumber dirahasiakan sesuai etika penelitian, tetapi lembaga adatnya dapat dikonfirmasi).