Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600 ------ Anda Bisa Mengirimkan Berita Peristiwa Seni Budaya Tanah Air. Kirim ke WhatsApp Redaksi Hatipena : 081217126600

Tatapan Mata Mega

January 23, 2025 11:03
IMG-20250123-WA0052

Rosadi Jamani
(Ketua Satupena Kalbar)

HATIPENA.COM – Pertandingan malam tadi bukan sekadar laga voli. Itu adalah opera maut yang dimainkan di panggung emas bernama stadion. Di tengah sorak-sorai, tatapan mata Mega mencuri perhatian semua yang hadir. Dalam tatapan itu, ada badai. Ada kilat. Ada takdir.

Mega, dara Jember yang tangannya bak pedang dewa, memasuki lapangan dengan langkah yang bukan langkah manusia biasa. Langkahnya seperti harimau yang mengintai mangsa di gelap malam. Tatapannya? Jangan tanya. Tatapannya cukup membuat anak asuh Kang Sung Hyun gelisah seperti murid sekolah yang lupa PR.

Babak 5, saat skor 13-10. Saat itu, Mega menerima umpan Yeum Hye Seon yang melayang indah seperti surat cinta di musim semi. Namun, Mega tak punya waktu untuk puitis. Tangannya yang dijuluki “Lengan Petir Jember” menghantam bola dengan kecepatan yang membuat gravitasi tertegun. Bola melesat seperti komet. Blok Lee Da Hyeon dan Wipawee? Ah, seperti dahan rapuh diterjang badai. Bola jatuh. Skor berubah. Wajah Mega? Kosong. Tanpa senyum. Tapi matanya menyeringai. Seolah berkata, “Kalian baru saja melihat potongan kecil dari neraka.”

Si mami, ibu yang selalu sibuk menyajikan gimbab untuk pemain RS, tak kuasa menahan air mata. “Mega, kau adalah jawaban dari setiap doa ibu-ibu kompleks ini,” bisiknya lirih.

Skor menampilkan angka 13-11. Moma Bassoko, pemain Kamerun yang tak kalah menyeramkan, melakukan servis seperti meriam kapal perang. Pyo Senju? Tenang seperti biksu, menerima bola dengan lembut. Bola dihantar ke Yeum Hye Seon, lalu, saat itu… Mega tak menghantam bola dengan tangan petirnya. Tidak. Kali ini ia hanya mencolek, seperti harimau yang mengecoh mangsa. Tapi Hillstate membacanya! Bola kembali ke RS.

Mega? Oh, dia sudah selesai bercanda. Kali ini, tangannya menghantam bola dengan amarah yang entah dari mana datangnya. Smes itu menembus blok seperti kilat menembus malam. Skor 14-11. Mega melompat memeluk pelatihnya, Ko Hee Jin, dengan kekuatan yang hampir meremukkan tulang sang pelatih. Tapi siapa peduli? Semua tenggelam dalam euforia.

Saat skor 14-13, Hillstate, seperti naga yang terluka, tak mau menyerah. Dua smes Moma mendekatkan skor. Jantung tribun berdegup cepat. Kopi penonton? Sudah dingin. Punggung penonton? Berkeringat. Mega berdiri di tengah lapangan, napasnya teratur, matanya menatap net seperti menatap musuh terakhirnya.

Servis lawan diterima Nohran dengan tenang. Bola diarahkan ke Yeum Hye Seon. Bola melayang, meluncur, sempurna di depan Mega. Saat itulah waktu melambat. Dunia berhenti berputar. Mega melompat. Tangannya terangkat. Hentakan tangannya tak lagi seperti manusia. Itu seperti dewa marah menghantam bumi. Bola melewati blok Wipawee dan Lee Da Hyeon, jatuh di sudut yang tak terjangkau. Skor 15-13.

Stadion pecah. Mega? Tidak tersenyum. Ia hanya memandang net dengan wajah geram. Lalu, perlahan, sebuah senyum melebar. Senyum itu meledek, berkata tanpa kata, “Siapa lagi yang berani?”

Usai laga, semua memeluk Mega. Tapi sorotan kamera tetap tak lepas darinya. Mega mencetak 38 poin, rekor yang mungkin butuh abad untuk dipecahkan. Tak ada yang peduli Vanja Bukilic adalah pemain termahal. Tak ada yang ingat Pyo Senju meraih MVP. Malam itu milik Mega. Tatapan matanya akan dikenang sebagai legenda.

Malam itu, dunia tahu. Bahwa Jember tak hanya punya tape, tapi juga Mega, sang Megatron. (*)

#camanewak