// Pinto Janir
Tentang ‘Spesialis’ Tukang Bela
KECELAKAAN yang paling kejam itu adalah tendensius. Ketika kebenaran dan kepentingan beramuk-tamuk, kita cenderung mencampakkan tenggang rasa ke jurang duri paling mencucuk.
Jangan tanya, kemana atau di mana hati nurani pergi dan berada. Ia sudah terkubur di lubuk cukam paling cekung.
Ketika pikiran tak melibatkan hati, mulut tajam menyerang membabi buta. Tak peduli siapa yang luka atau terluka. Kaki menerjang sembarang sepak. Tak pula peduli siapa yang tertilantang.
Tangan menyikut sembarang masuk, tak peduli siapa yang terdengat. Yang penting; cacar saja dulu!
Tendensius.
Gamang benar saya melafaskan kalimat ini.
Merumas perut saya menyaksikan pentas tendensius bila menjadi kebiasaan, lama-lama bisa menjadi budaya. Maka pada saat itulah pisau di tangan masing-masing saling tikam.Berdarah-darah.
Siraaah…!
Sikap tendensius—sikap berpihak dan gemar menyusahkan orang lain yang dianggap lawan– biasanya dipicu oleh spirit yang kacau menerjemahkan kesetiaan.
Ketika mana orang yang kita “setiakan” kita bela habis-habisan, di saat itulah kita lemparkan segala kebenaran.
Kita merasa bagai seorang hero yang di tangan kirinya keadilan dan di tangan kanannya kebenaran.
Lalu, kita pungkiri segalanya sekalipun apa yang kita lakukan, apa yang kita teriakkan sekeras nafas itu, belum tentu duduk benarnya.
Yang sudah “duduk” itu soal “angka angka”.
Kita saling adu kepala . Saling adu tangan. Adu kaki atau saling ludah meludahi…kita anggap itu pembelaan paling kesatria atas nama rasa kesetiaan.
Setia pada siapa?
Setia pada tuan atau Tuhan?
Jangan pernah menempatkan diri menjadi budak tuan karena diberi makan atau asupan.
Bila ukuran kesetiaan karena tuan memberi makan sehingga terus menyalak, menyerang dengan membabi buta, maka apa bedanya kita dengan ” hewan ” peliharaan?
Jadi, berpikir banyaklah untuk membela habis habisan bila dasarnya hanya untuk makan.
Tapi, lakukan habis habisan bila pembelaan itu berdasarkan keadilan dan hati .
Mengapa kita harus tendensius benar?
Kalau akan terpaksa juga membela seseorang dengan menggila, kita tak harus memakai cara cara gila yang melukai orang lain. Banyak cara membela di jalan yang bijaksana, seperti rambut tidak putus, tepung tidak terserak.
Tapi, sebagus-bagus membela itu adalah membela dengan menyingkirkan kepentingan pribadi dan kepentingan segelintir kelompok.
Kita membela karena sesuatu itu memang layak untuk dibela. Dasarnya, itu tadi. Yakni: demi keadilan!
Membela bukan seperti membelah bambu. Satu diinjak, satu diangkat. Bukan begitu.
Belalah sesuai asas perlu, pantas dan patut serta selaras alur. Bukan alur yang kita alur-alurkan.Bukan untuk mengalur alur orang banyak!
Yang paling mulia adalah membela orang teraniaya.Membela orang terdzalimi, baik akibat orang maupun akibat kekuasaan penuh dusta dan dzalim.
Dan, tak perlu berharap banyak ketika kita membela dibayarnya dengan apa dan berapa?
Dan, tak pula membela tak berketentuan, yakni bela-bela asal ojok.
Bela bela asal ojok berpotensi kepada ” kawan mandapek, inyo tapojok”. Atau, kawan ” cair” inyo hancur.
Yang jelas, tiap hari, hindari dan usahakan jangan sakiti hati orang lain.
Tapi, usahakanlah mengobati hati hati yang terluka serta menjahit sesuatu yang pernah cabik .
Sedangkan tak menyakiti hati orang lain saja, masih ada juga orang yang sakit hati melihat kita.Sakit melihat orang tanpa alasan, adalah tendensius tersembunyi dalam selubung iri dan dengki.
Bila tendensius dan pembunuhan karakter lekat pada batang tubuh, niscaya kita akan menjadi orang paling gelisah yang tak akan pernah menikmati betapa indah dan nyamannya kehidupan dunia yang damai.
Damai itu nikmat. Ia senikmat segelas kopi hangat dan sebatang rokok seusai menyantap hidangan pagi.
Kemangkusan segelas kopi dan sebatang rokok dapat menyelesaikan urusan dunia dalam tiap isap dan hembusan. Begitulah energi tarian imajinasi segelas kopi dan sebatang rokok.
Hidup itu sebenarnya sederhana saja. Manusia saja yang doyan merumit rumitkannya.
Hidup itu tak bisa lepas dari soal ” Tuhan bertanya, manusia menjawabnya!”.
Ah, apa juga lagi; belajarlah berdamai dengan diri sendiri, baru kau akan mampu berdamai dengan lingkungan dan orang lain…
Untuk itu, jangan gampang tergoda dunia, apalagi tergoda mata anggaran.
Ingat, kita masih punya mata untuk melihat dan punya hati untuk memandang.
Bukankah, begitu?